Indonesia resmi masuk BRICS dan dapat akses pasar besar, tapi berisiko kehilangan ekspor miliaran dolar ke AS. (Apluswire/Robin santoso)

Indonesia resmi bergabung sebagai anggota penuh BRICS pada 6 Januari 2025. Langkah ini bukan sekadar manuver diplomatik, tapi loncatan strategis yang menempatkan Jakarta di tengah pertarungan geopolitik antara blok Timur yang dipimpin China dan kekuatan Barat yang dikomandoi Amerika Serikat. 

Di bawah komando Presiden Prabowo Subianto, keputusan ini menjadi simbol ambisi Indonesia untuk naik kelas sebagai kekuatan menengah dunia middle power yang dihitung dalam peta kekuatan global.

BRICS yang kini mencakup 3,5 miliar populasi dunia dengan sumbangan 35% terhadap PDB global, menjadi arena baru bagi Indonesia untuk memperluas pasar, memperkuat kerja sama, dan mendiversifikasi sumber investasi. 

Tapi langkah ini juga datang dengan harga: potensi tekanan dari AS, risiko ketergantungan pada China, dan tantangan menjaga posisi netral di tengah rivalitas dua kutub ekonomi dunia.

"BRICS bukan aliansi untuk melawan Amerika Serikat, tapi forum untuk memperkuat solidaritas negara berkembang," kata Prabowo dalam KTT BRICS 2025 di Rio de Janeiro. 

Sikap ini merefleksikan semangat bebas aktif yang sudah lama menjadi napas diplomasi Indonesia, tapi kini dibalut pragmatisme baru: fleksibel, tapi tetap tajam.

Pasar BRICS dan Potensi Ekspor Besar-besaran

Gabungnya Indonesia ke BRICS langsung membuka akses ke pasar raksasa—India dan China masing-masing punya lebih dari 1,4 miliar konsumen. 

Produk unggulan seperti minyak kelapa sawit, yang menyumbang US$31 miliar atau 12% dari total ekspor Indonesia pada 2024, punya ruang ekspansi yang signifikan. Begitu juga sektor tekstil dan hasil laut yang menjadi tulang punggung ekspor non-migas dengan kontribusi 8%.

New Development Bank (NDB), bank milik BRICS, menjadi ujung tombak pembiayaan proyek besar Indonesia. Pemerintah menargetkan pembiayaan Rp400 triliun dari NDB untuk proyek konektivitas digital, dan mendukung transisi energi melalui biodiesel B40 yang bisa menghemat devisa hingga US$10 miliar per tahun. 

"NDB adalah game changer. Kita bisa mempercepat pembangunan tanpa terjerat utang dolar," ujar Menko Perekonomian Airlangga Hartarto.

Langkah ini sejalan dengan strategi dedolarisasi Indonesia. Sepanjang 2024, Bank Indonesia mencatat transaksi Local Currency Settlement (LCS) dengan China, India, dan Malaysia mengurangi ketergantungan terhadap dolar AS sebesar 20% dalam perdagangan bilateral. 

“Ini bukan soal menolak dolar, tapi soal memperkuat ketahanan ekonomi kita sendiri,” kata Gubernur BI Perry Warjiyo.

AS Tetap Kunci Perdagangan, Tapi Jadi Tantangan Baru

Di tengah langkah strategis ini, relasi dengan Amerika Serikat tetap jadi variabel kunci. AS menyumbang 10,7% dari total ekspor Indonesia senilai US$258 miliar pada 2024. 

Bahkan, ekspor ke AS mencapai US$27 miliar dengan surplus perdagangan sebesar US$14 miliar. Artinya, satu tekanan dari Washington bisa langsung mengganggu stabilitas neraca dagang Indonesia.

Ancaman itu bukan fiksi. Donald Trump dalam kampanyenya pada 2024 sempat menyebut negara-negara BRICS yang mendorong dedolarisasi sebagai “pengganggu sistem keuangan global” dan membuka opsi tarif tambahan. Meski belum direalisasikan, sinyal ini cukup menjadi alarm dini bagi Indonesia.

“Indonesia harus menjaga keseimbangan. BRICS memang memberi peluang, tapi AS masih punya tuas kekuasaan besar di sistem perdagangan global,” kata Dr. Dino Patti Djalal, mantan Dubes RI untuk AS. 

Terlebih, AS menjadi pasar utama untuk produk elektronik dan tekstil—dua sektor yang paling sensitif terhadap kebijakan tarif.

Ketergantungan pada China Bisa Jadi Bumerang

Masuknya Indonesia ke BRICS otomatis mempererat hubungan dengan China, motor utama blok ini. Tapi di sinilah letak tantangan terbesar: bagaimana menjaga kemitraan tanpa terjebak dalam ketergantungan yang melemahkan kemandirian politik.

China menyumbang 30% dari total investasi asing ke Indonesia pada 2024, dengan nilai mencapai puluhan miliar dolar. Proyek besar seperti Kereta Cepat Jakarta-Bandung senilai US$7,3 miliar memperlihatkan dominasi Beijing di sektor infrastruktur. 

Bahkan, 15% ekspor nikel Indonesia senilai US$3,2 miliar juga diserap pasar AS, namun sektor ini tetap didominasi investasi dan teknologi dari China.

“Ketergantungan yang terlalu besar bisa jadi bumerang. Kita harus waspada agar tidak terseret dalam orbit pengaruh politik Beijing,” ujar Dr. Rizal Sukma, peneliti senior CSIS. 

Hal senada disampaikan oleh Dr. Siswo Pramono, Dirjen Polugri Kemlu, yang menekankan pentingnya manuver diplomatik yang cermat agar Indonesia tetap punya ruang gerak sendiri.

Diplomasi Ekonomi Jadi Jurus Pamungkas

Untuk mengatasi risiko tersebut, Indonesia menyiapkan strategi diplomasi ekonomi lima pilar. Pertama, memperluas pasar non-tradisional. Sepanjang 2024, Kemlu mencatat peningkatan ekspor 7% ke kawasan Afrika dan Asia Selatan berkat pendekatan aktif para diplomat di lapangan. Kedua, memperkuat kerja sama di forum APEC dan RCEP, yang mencakup 60% dari total perdagangan Indonesia senilai US$500 miliar.

Ketiga, memanfaatkan instrumen dagang berstandar global. Skema FLEGT, misalnya, berhasil membuka pasar kayu Indonesia ke Uni Eropa senilai US$2 miliar per tahun. 

Keempat, peningkatan kapasitas diplomasi perdagangan antar-lembaga. Kolaborasi Kemlu dan Kemendag berhasil menarik investasi asing sebesar US$47 miliar pada 2024. Terakhir, positioning Indonesia sebagai hub logistik dan budaya di kawasan Indo-Pasifik, memperkuat daya saing sekaligus citra nasional.

“Diplomasi kita tidak bisa pasif. Kita harus agresif, tapi terukur. Indonesia harus jadi penentu, bukan hanya pengikut,” tegas Menlu Sugiono. Pendekatan ini jadi pondasi agar Indonesia tak hanya bertahan dalam dinamika global, tapi juga mengambil keuntungan maksimal dari tiap perubahan yang terjadi.

Antara Akses Modal dan Ancaman Polarisasi

Satu hal yang tak bisa dihindari: masuk ke BRICS artinya masuk ke gelanggang politik global yang makin panas. Indonesia akan dihadapkan pada tekanan tarik-menarik antara dua blok besar dunia. 

Di satu sisi, peluang pendanaan murah, pasar ekspor besar, dan kebebasan dari dolar AS. Di sisi lain, risiko sanksi terselubung, ketegangan diplomatik, dan ketergantungan politik.

“Kita harus cerdas. Dengan BRICS, kita punya panggung baru. Tapi jika tak hati-hati, kita bisa jadi pion di papan catur yang bukan kita yang atur,” ujar Dr. Yayan GH Mulyana dari Universitas Padjadjaran.

Strategi Indonesia tetap pada jalur bebas aktif, tapi kini dikemas dalam pragmatisme realis. Pemerintah bahkan telah menyiapkan negosiasi bilateral dengan AS untuk perlindungan ekspor tertentu, seperti elektronik dan suku cadang otomotif, yang pada 2024 menyelamatkan nilai ekspor sebesar US$1,5 miliar dari potensi tarif baru.

Anggaran pertahanan juga dinaikkan 10% menjadi Rp155 triliun pada 2025, dengan fokus memperkuat Natuna dan wilayah maritim strategis lainnya. Pemerintah juga mendorong kemandirian sektor strategis seperti pangan dan energi, sebagai langkah mitigasi dari potensi tekanan eksternal.