Isu merger antara Grab dan GoTo kembali mencuat di tengah ketatnya persaingan pasar ojek online di Indonesia. Sejumlah aplikasi ojol lokal juga dikabarkan tutup. (Foto: seatoday.com)

Isu potensi merger antara dua raksasa layanan on-demand di Asia Tenggara, Grab dan GoTo Gojek Tokopedia, kembali menjadi sorotan publik dan regulator. Meskipun spekulasi mencuat sejak awal 2025, hingga 11 Juni 2025 belum ada konfirmasi resmi atau notifikasi hukum yang menunjukkan kesepakatan telah dicapai. 

Sementara rumor terus beredar, otoritas seperti Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) tetap siaga untuk mengantisipasi potensi dampak terhadap struktur pasar dan perlindungan konsumen.

Spekulasi mengenai akuisisi GoTo oleh Grab dipicu laporan media internasional, yang menyebut Grab tengah menyusun skema pendanaan ambisius—termasuk penerbitan obligasi konversi senilai US$1,25 miliar—untuk merealisasikan kesepakatan dengan valuasi GoTo sekitar US$7 miliar. 

Bahkan lembaga investasi negara, Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (Danantara), dikabarkan akan berpartisipasi dalam struktur pendanaan entitas gabungan tersebut.

Namun, bantahan tegas datang dari semua pihak terkait. Grab, melalui CFO Peter Oey, menekankan bahwa tidak ada negosiasi maupun perjanjian aktif yang berjalan dengan GoTo. 

Hal senada disampaikan GoTo, yang menyatakan masih mengevaluasi penawaran yang masuk tanpa mengambil keputusan apa pun. 

Danantara pun menyangkal keterlibatan aktif dalam proses akuisisi, menegaskan posisinya sebagai investor institusional yang tetap mempertimbangkan prinsip-prinsip tata kelola dan kepatuhan.

KPPU menyampaikan bahwa belum ada pemberitahuan resmi terkait transaksi merger, sebagaimana diwajibkan oleh regulasi antimonopoli di Indonesia. Meski demikian, regulator telah memulai kajian independen sebagai langkah antisipatif. 

Ketua KPPU M. Fanshurullah Asa menegaskan bahwa lembaganya akan menilai dampak dari sisi hambatan masuk pasar, potensi perilaku anti-persaingan, efisiensi ekonomi, dan perlindungan terhadap pelaku usaha kecil.

Mengacu pada Peraturan KPPU No. 3 Tahun 2023 dan Undang-Undang No. 5 Tahun 1999, setiap penggabungan usaha dengan nilai transaksi tertentu wajib diinformasikan dalam waktu 30 hari setelah transaksi efektif. 

KPPU juga menghimbau agar para pihak melakukan konsultasi sukarela sebelum kesepakatan disahkan secara hukum, guna menghindari pelanggaran prinsip persaingan usaha yang sehat.

Jika merger terjadi, dampaknya terhadap struktur pasar ojol di Indonesia bisa sangat signifikan. Data dari Euromonitor International menunjukkan bahwa penggabungan Grab dan GoTo akan menciptakan entitas dengan pangsa pasar lebih dari 91% di sektor transportasi daring. 

Di Singapura, dominasi serupa juga terpantau, menimbulkan kekhawatiran akan praktik monopoli yang dapat merugikan konsumen dan mitra pengemudi.

Serikat Pekerja Angkutan Indonesia (SPAI) secara terbuka menolak potensi merger, menyebutkan risiko menurunnya pendapatan pengemudi, potensi kenaikan tarif, dan semakin kuatnya posisi tawar platform terhadap pekerja informal. 

Dalam situasi pasar yang sudah sangat terkonsolidasi, hilangnya satu pemain besar berisiko mempersempit ruang inovasi dan daya saing.

Meski Grab dan GoTo menguasai mayoritas pasar, sektor ojek online (ojol) di Indonesia masih menyisakan ruang bagi pemain alternatif. 

Beberapa aplikasi lokal dan internasional seperti inDrive, Maxim, dan Zendo masih bertahan, menawarkan diferensiasi berupa model tarif yang fleksibel, biaya komisi rendah, atau segmentasi pasar tertentu.

Namun dinamika persaingan tetap keras. Banyak aplikasi ojol yang sebelumnya beroperasi—seperti Uber, Blujek, hingga Lady Jek—telah menghentikan layanannya karena tidak mampu bersaing atau kekurangan pendanaan. 

Penutupan ini mencerminkan tantangan mendasar dalam mempertahankan skala dan efisiensi operasional dalam industri yang padat modal dan sensitif terhadap harga.

Berikut adalah ringkasan beberapa aplikasi ojol yang telah keluar dari pasar:
 
No Aplikasi Keterangan
1 Uber Hengkang Maret 2018, diakuisisi oleh Grab di Asia Tenggara.
2 Topjek Tawarkan tarif murah dan fitur chatroom unik, namun akhirnya tutup.
3 Ojek Argo Tidak aktif sejak 2017, tidak memerlukan akun pengguna.
4 Call Jack Beroperasi di Yogyakarta, tutup tanpa alasan yang jelas.
5 Ojekkoe Tawarkan tarif Rp2.500/hari, tutup meski sempat sediakan layanan instan.
6 Lady Jek Fokus pada pengemudi perempuan, bangkrut karena keterbatasan modal.
7 Ojesy Khusus perempuan dan anak, tutup tanpa kejelasan penyebab.
8 Blujek Saingan besar Gojek dan Grab, tutup meski punya armada besar.
sementara itu yang masih bertahan:

 
No Aplikasi Keterangan
1inDriveBeroperasi di 70+ kota, biaya bagi hasil 10%, tarif bisa ditawar.
2MaximHadir sejak 2018, biaya layanan 5–15%, tersedia di 250+ kota.
3ZendoDikelola SUMU, tersedia di 70+ kota, dengan 100 ribu+ pengguna aktif.
4OmegaKerja sama dengan Maxim, tawarkan ojol dan taksi online.
5NujekStartup lokal sejak 2018, tawarkan transportasi dan layanan pengiriman.
6BuroqDidirikan 2019, fokus pada layanan transportasi online lokal.
7MaxrideBeroperasi di Sulawesi sejak 2023, sediakan transportasi roda tiga (bajaj).

Hingga pertengahan Juni 2025, tidak ada dasar hukum maupun fakta resmi yang menunjukkan bahwa merger Grab dan GoTo telah terjadi atau sedang difinalisasi. 

Meski demikian, implikasi dari spekulasi ini tetap relevan untuk dianalisis secara kritis. Baik dari sisi regulator, pelaku pasar, hingga konsumen, semua pihak perlu mencermati setiap perkembangan dengan cermat.

Dalam iklim usaha digital yang cepat berubah, transparansi, kepatuhan hukum, dan keberpihakan terhadap persaingan sehat menjadi pilar utama dalam menjaga ekosistem yang adil dan inklusif. 

Merger, bila terjadi, harus ditimbang secara matang, tidak hanya dari sisi bisnis dan efisiensi, tetapi juga dari perspektif keadilan sosial dan dampaknya terhadap masyarakat luas.