![]() |
Ekspor China ke ASEAN melonjak saat pengiriman ke AS anjlok akibat tarif tinggi. Indonesia dan Thailand jadi tujuan utama. (ISG) |
Di tengah ketegangan geopolitik yang belum mereda, China menunjukkan manuver perdagangan yang menarik perhatian. Data terbaru menunjukkan bahwa Negeri Tirai Bambu mulai menggencarkan ekspor ke negara-negara Asia Tenggara, sementara pengiriman ke Amerika Serikat menurun drastis.
Langkah ini tampaknya bukan sekadar respons sesaat terhadap kebijakan tarif tinggi, melainkan bagian dari strategi diversifikasi pasar yang lebih luas.
Lompatan Ekspor
Pada April 2025, ekspor China tumbuh 8,1% dibandingkan tahun sebelumnya, jauh melebihi proyeksi konsensus ekonom yang memperkirakan kenaikan hanya 1,9%. Lonjakan ini menunjukkan bahwa pelaku industri di China berhasil menemukan celah untuk menjaga performa ekspor meski dibayangi ketidakpastian global.
Yang menarik, pertumbuhan terbesar datang dari kawasan Asia Tenggara. Ekspor ke negara-negara ASEAN mencatat kenaikan tajam sebesar 20,8%, jauh lebih tinggi dari bulan sebelumnya yang tercatat 11,6%.
Indonesia dan Thailand Tampil Menonjol
Dua negara yang mencuri perhatian dalam data ini adalah Indonesia dan Thailand. Ekspor China ke Indonesia melonjak hingga 37% secara tahunan, sementara Thailand mencatat kenaikan 28%.
Sementara Vietnam dan Malaysia masih menjadi tujuan ekspor utama, lonjakan ke Indonesia dan Thailand menandai perubahan pola permintaan regional yang mulai menggeser fokus perdagangan China.
Kondisi ini membuka peluang besar bagi negara-negara ASEAN untuk memperkuat hubungan ekonomi dengan China. Di sisi lain, hal ini juga menjadi alarm bagi negara-negara Barat bahwa dominasi mereka dalam perdagangan global tidak lagi mutlak.
AS Kian Terpinggirkan
Sementara kawasan Asia Tenggara menikmati arus barang dari China yang meningkat, Amerika Serikat justru mengalami penurunan tajam. Ekspor China ke AS menyusut lebih dari 21% pada April jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu. Impor dari AS ke China juga ikut tergerus hampir 14%.
Penurunan ini tak lepas dari kebijakan tarif agresif yang diberlakukan pemerintahan Presiden Donald Trump. Bea masuk sebesar 145% untuk barang-barang dari China praktis membuat harga produk tidak lagi kompetitif di pasar AS. China pun membalas dengan tarif 125% terhadap barang-barang asal Amerika.
Meskipun sempat terjadi lonjakan ekspor ke AS pada Maret—kemungkinan akibat upaya eksportir memanfaatkan celah waktu sebelum tarif diberlakukan secara penuh—tren umum tetap menunjukkan arah penurunan.
Ekspor Lewat Negara Ketiga?
Beberapa analis menduga bahwa sebagian ekspor China mungkin menggunakan jalur transshipment, yaitu pengiriman melalui negara ketiga untuk menghindari tarif langsung. Selain itu, kontrak dagang yang ditandatangani sebelum tarif diberlakukan juga berperan dalam menjaga volume pengiriman dalam jangka pendek.
Namun strategi ini tidak akan bertahan lama. Zhiwei Zhang, kepala ekonom di Pinpoint Asset Management, memperingatkan bahwa performa ekspor China kemungkinan besar akan mulai melemah secara bertahap dalam beberapa bulan ke depan.
Di luar Asia Tenggara dan AS, China juga membidik pasar Uni Eropa. Ekspor ke kawasan tersebut naik 8,3% pada April, namun ironisnya, impor dari Eropa ke China turun hingga 16,5%.
Ketidakseimbangan ini mencerminkan potensi friksi dagang baru yang bisa saja muncul dari ketidaksetaraan arus barang.
Analisis: Peta Dagang Sedang Direvisi
Fenomena pergeseran arah ekspor ini bukan hanya soal angka perdagangan, melainkan cerminan dari perubahan besar dalam tatanan ekonomi global. China seolah mulai “mengamankan” pasar-pasar yang lebih bersahabat dan strategis, terutama di Asia.
Bagi Asia Tenggara, ini bisa menjadi momen untuk memperkuat posisi sebagai pusat logistik dan manufaktur regional. Namun ada tantangan tersendiri, yakni menjaga keseimbangan antara manfaat ekonomi dan risiko ketergantungan.
Sementara itu, kebijakan tarif super tinggi justru menjadi bumerang bagi hubungan dagang AS-China. Kedua negara kini terlibat dalam semacam “perang saling menjauh”, di mana kebutuhan akan diversifikasi menjadi sangat nyata bagi keduanya.
China kini tampak tengah membangun jaringan dagang baru yang lebih terdistribusi dan tidak lagi bergantung sepenuhnya pada pasar tradisional seperti AS dan Eropa. Lonjakan ekspor ke Asia Tenggara bisa menjadi sinyal awal dari perubahan jangka panjang yang lebih besar.
Jika tren ini berlanjut, bukan tidak mungkin Asia akan menjadi episentrum baru perdagangan global dalam dekade mendatang.
0Komentar