![]() |
Eric Schmidt, mantan CEO Google, ingin bangun data center di luar angkasa demi mengatasi lonjakan daya akibat tren AI global. (Jason Dorfman/MIT CSAIL) |
Di saat sejumlah perusahaan teknologi besar seperti Microsoft dan Google mulai berinvestasi pada data center bertenaga nuklir, langkah berbeda justru diambil oleh Relativity Space. Perusahaan rintisan di bidang antariksa asal Amerika Serikat itu berambisi membangun pusat data di luar angkasa.
Gagasan ambisius ini diprakarsai oleh Eric Schmidt, mantan CEO Google yang kini menjadi pemegang saham mayoritas di Relativity Space sejak Maret 2025. Schmidt menyampaikan visinya dalam sebuah rapat bersama Komite Energi dan Perdagangan AS pada April lalu.
Menurutnya, permintaan energi untuk mengoperasikan data center saat ini telah mencapai level yang belum pernah terjadi sebelumnya. Ia membeberkan bahwa satu pembangkit listrik tenaga nuklir di Amerika biasanya menghasilkan sekitar 1 gigawatt daya.
Namun, kini ada data center yang membutuhkan hingga 10 gigawatt. Jumlah tersebut diperkirakan terus melonjak hingga menyentuh 67 gigawatt pada tahun 2030.
“Ini adalah skala industri yang belum pernah saya lihat sebelumnya,” kata Schmidt. Ia menyebut bahwa ledakan tren kecerdasan buatan (AI) adalah faktor utama di balik lonjakan kebutuhan daya ini.
Solusi yang dia tawarkan terdengar futuristik: membangun pusat data di luar angkasa yang langsung ditenagai oleh energi matahari. Schmidt percaya, memanen energi matahari dari orbit akan menjadi cara paling efisien dan berkelanjutan untuk menyuplai daya ke pusat data masa depan.
Meski terdengar seperti fiksi ilmiah, gagasan ini memiliki fondasi yang realistis. Relativity Space tengah mengembangkan roket Terran R—wahana peluncur generasi baru yang didesain sebagian dapat digunakan kembali.
Dalam mode sekali pakai, roket ini mampu membawa beban hingga 33,5 ton ke orbit rendah bumi. Bila digunakan ulang, daya angkutnya turun menjadi sekitar 23,5 ton.
Keunggulan teknologi Terran R membuat Relativity Space jadi salah satu dari sedikit perusahaan yang punya potensi membangun infrastruktur data luar angkasa dengan biaya yang relatif lebih terjangkau dibanding kompetitornya.
Perusahaan antariksa lain seperti SpaceX dan Blue Origin memang lebih dulu populer, namun keduanya berada di bawah kendali miliarder Elon Musk dan Jeff Bezos. Ini bisa menjadi hambatan bagi tokoh luar seperti Schmidt jika ingin memakai layanan mereka secara bebas.
Alternatif seperti roket Vulcan milik United Launch Alliance dinilai terlalu mahal. Sedangkan Neutron, roket buatan Rocket Lab yang akan dirilis dalam waktu dekat, dianggap terlalu kecil untuk proyek sebesar ini.
Namun, ambisi besar membutuhkan dana besar pula. Meski kekayaan Schmidt mencapai sekitar 20 miliar dolar AS (setara Rp 330 triliun), ia disebut tengah mencari mitra strategis untuk membantu mendanai proyek tersebut.
Dibandingkan dengan kekayaan Musk atau Bezos yang masing-masing melampaui angka ratusan miliar dolar, sumber daya finansial Schmidt memang terbatas.
Membangun data center di luar angkasa mungkin terdengar seperti ide gila bagi sebagian orang. Namun jika melihat tren global—mulai dari
ledakan kebutuhan komputasi AI, keterbatasan lahan di Bumi, hingga dorongan untuk menggunakan energi bersih—gagasan ini justru bisa jadi sangat relevan dalam satu dekade ke depan.
Energi matahari di luar angkasa memiliki keunggulan: tidak terpengaruh cuaca dan bisa diakses 24 jam tanpa hambatan atmosfer. Tantangannya tentu besar, mulai dari infrastruktur, keamanan, biaya peluncuran, hingga regulasi luar angkasa.
Namun sejarah membuktikan, teknologi yang semula dianggap tidak masuk akal kerap menjadi kenyataan di tangan orang-orang dengan visi besar.
Jika Relativity Space berhasil menjadi pionir di ranah ini, bukan tidak mungkin kita akan melihat babak baru dalam evolusi internet dan komputasi global. Bukan hanya cloud computing, tapi literal space computing.
0Komentar