![]() |
Iran memamerkan drone, rudal, dan tentara pada upacara parade Hari Tentara Nasional di Teheran, Iran, (17/4/2024) waktu setempat. (via REUTERS/Majid Asgaripour) |
Di tengah memburuknya situasi geopolitik di Timur Tengah, Iran kembali menegaskan sikap tegasnya terhadap potensi ancaman dari luar negeri. Kepala Staf Angkatan Bersenjata Iran, Mayor Jenderal Mohammad Baqeri, menyatakan bahwa kekuatan militer negaranya berada dalam kondisi siap tempur dan intelijen terbaik yang pernah ada. Menurutnya, meski musuh mungkin memulai konflik, Iran yang akan menentukan bagaimana konflik itu berakhir.
"Jika mereka membuat kesalahan dengan menyerang Iran, maka kontrol sepenuhnya atas arah konflik bukan lagi milik mereka. Republik Islam Iran yang akan mengatur kapan dan di mana konflik akan diselesaikan," ujarnya melalui pernyataan yang dikutip kantor berita resmi IRNA.
Pernyataan tersebut muncul beberapa hari setelah putaran keempat negosiasi nuklir antara Iran dan Amerika Serikat yang kembali berlangsung penuh ketegangan di Oman. Hingga saat ini, belum ada terobosan signifikan yang bisa mengindikasikan bahwa kesepakatan akan tercapai dalam waktu dekat.
Di sisi lain, Presiden AS Donald Trump kembali mengancam akan menggunakan kekuatan militer jika Iran tidak menunjukkan komitmen yang jelas dalam proses denuklirisasi. Tekanan terhadap Teheran terus meningkat, terutama terkait tuntutan agar Iran menghentikan seluruh aktivitas pengayaan uranium dan membongkar fasilitas-fasilitas nuklirnya.
Trump menegaskan bahwa kesabaran Washington ada batasnya. “Kesepakatan atau konsekuensi,” demikian kira-kira pesan yang ingin disampaikan Gedung Putih kepada Teheran. Ancaman ini bukan hal baru, namun nada agresifnya tampak semakin keras, menandakan betapa seriusnya pemerintahan Trump dalam menghadapi isu ini.
Meski begitu, Iran tetap bersikukuh bahwa program nuklirnya sepenuhnya bersifat damai. Teheran berkali-kali menegaskan bahwa mereka tidak sedang mengembangkan senjata nuklir, melainkan menggunakan teknologi tersebut untuk kebutuhan energi sipil, seperti yang dijamin dalam hak-hak internasional.
Utusan Presiden AS untuk Timur Tengah, Steve Witkoff, dalam wawancara terbaru menyebutkan bahwa Iran tidak memiliki banyak ruang untuk bermanuver. Ia memperingatkan bahwa jika Iran terus mencoba mengulur waktu, maka Washington akan mengambil jalan lain yang “jauh lebih buruk” bagi Teheran.
“Jika mereka pikir bisa mempermainkan saya di meja perundingan, mereka salah besar,” kata Witkoff dalam wawancaranya dengan Breitbart.
Putaran negosiasi terakhir di Oman bertujuan menghidupkan kembali kesepakatan nuklir tahun 2015, atau yang dikenal sebagai Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA). Kesepakatan ini sempat menjadi simbol keberhasilan diplomasi multilateral, namun kemudian runtuh setelah Trump secara sepihak menarik AS dari perjanjian tersebut dan memberlakukan kembali sanksi berat terhadap Iran.
Sejak saat itu, ketegangan antara kedua negara meningkat drastis, dengan Iran yang mempercepat program nuklirnya dan AS yang memperkeras tekanan melalui jalur diplomasi maupun militer. Ancaman dari kedua belah pihak semakin memperkecil peluang kompromi.
Penting untuk mencermati bahwa narasi ancaman dan kekuatan militer bukan hanya mencerminkan postur pertahanan, tetapi juga merupakan bagian dari strategi tawar-menawar politik di tingkat internasional. Dalam banyak kasus, sikap keras yang diambil oleh kedua pihak lebih dimaksudkan untuk memperkuat posisi di meja negosiasi, bukan sebagai langkah awal menuju perang terbuka.
Namun demikian, risiko eskalasi tetap nyata. Ketika diplomasi dibayangi oleh retorika agresif dan tekanan militer, ruang dialog bisa menjadi sempit dan situasi dapat bergerak cepat ke arah yang tidak diinginkan. Dalam konteks ini, penting bagi komunitas internasional untuk terus mendorong dialog terbuka dan mencegah konflik lebih lanjut.
Kondisi saat ini menuntut kebijaksanaan dari semua pihak. Mengingat sejarah panjang ketegangan Iran-AS, dunia tidak bisa mengabaikan risiko dari kegagalan diplomasi ini. Di saat yang sama, perlu ada upaya nyata untuk mendorong pendekatan yang adil, tidak hanya menuntut, tapi juga mengakui hak-hak yang sah setiap negara, termasuk hak Iran atas energi nuklir damai.
0Komentar