Indonesia kembali mencatat tonggak sejarah penting dalam sektor pangan nasional. Untuk pertama kalinya, jumlah cadangan beras yang tersimpan di gudang Perum Bulog mencapai angka yang belum pernah terjadi sebelumnya: 3,7 juta ton.
Hal ini disampaikan langsung oleh Wakil Menteri Pertanian, Sudaryono, yang juga menjabat sebagai Ketua Dewan Pengawas Perum Bulog, dalam kunjungan kerjanya ke Rice Mill Unit (RMU) Bulog yang terletak di Karawang, Jawa Barat, pada Kamis, 15 Mei 2025.
Menurut Sudaryono, capaian ini merupakan hasil penyerapan beras sepanjang tahun 2025 yang sudah dimulai sejak Januari hingga pertengahan Mei. "Serapan beras kita dari Januari sampai hari ini mencapai 2,1 juta ton. Ini merupakan angka serapan tertinggi sepanjang sejarah," ujarnya.
Lebih lanjut, Sudaryono menegaskan bahwa pencapaian ini tidak hanya memecahkan rekor internal Bulog, tetapi juga berhasil melampaui rekor nasional sebelumnya yang tercatat pada tahun 1984. Saat itu, di masa pemerintahan Presiden Soeharto, Indonesia menerima penghargaan swasembada beras dari FAO dengan cadangan sebanyak 3 juta ton.
"Jika kita melihat ke belakang, pada 1984 itu menjadi momen penting karena kita diakui dunia sebagai negara yang mampu memenuhi kebutuhan beras sendiri. Kini, di tahun 2025, kita telah melampaui angka tersebut. Ini prestasi luar biasa," ucap Sudaryono dengan bangga.
Namun, ia menekankan bahwa kesuksesan ini bukanlah sesuatu yang terjadi secara instan. Capaian tersebut merupakan buah dari kerja keras kolektif—dari petani di lapangan hingga jajaran manajemen dan pegawai Bulog di seluruh Indonesia.
"Ini bukan hasil kerja satu-dua orang. Para petani kita luar biasa semangatnya. Mereka terus menanam dan memanen dengan tekun. Tim Bulog dari pusat sampai ke pelosok juga bekerja siang malam. Tak ada yang bermalas-malasan. Semua bergerak," tegasnya.
Dalam kesempatan itu, Sudaryono juga mengungkapkan bahwa keberhasilan ini tidak lepas dari adanya perubahan strategi dalam sistem pengadaan beras nasional. Bila sebelumnya Bulog lebih sering membeli beras yang sudah diproses dari pasar, kini pendekatan yang diambil adalah membeli langsung gabah dari para petani.
Langkah ini merupakan implementasi dari kebijakan baru yang diarahkan langsung oleh Presiden Prabowo Subianto. Tujuannya sederhana namun berdampak besar: memastikan hasil panen petani terserap secara langsung oleh pemerintah, tanpa terlalu banyak perantara.
"Kalau Bulog hanya membeli beras, maka yang ditemui adalah pedagang, bukan petani. Padahal kita ingin menyejahterakan petani. Maka, sesuai instruksi Pak Presiden, mulai sekarang fokus Bulog adalah membeli gabah langsung dari petani di sawah," jelasnya.
Strategi ini dinilai sebagai angin segar bagi dunia pertanian nasional. Dengan kebijakan tersebut, petani bisa mendapatkan harga yang lebih layak tanpa harus melewati proses panjang yang seringkali memangkas margin keuntungan mereka.
Kebijakan pembelian gabah ini juga sejalan dengan semangat membangun ketahanan pangan yang berpihak pada rakyat kecil. Dalam jangka panjang, hal ini bisa memperkuat posisi petani sebagai aktor utama dalam rantai pasok pangan nasional, bukan sekadar produsen yang sering dirugikan oleh fluktuasi harga.
Jika terus dikawal dengan baik, perubahan ini bukan hanya akan berdampak pada jumlah stok beras, tetapi juga meningkatkan kesejahteraan petani secara menyeluruh.
Melihat angka 3,7 juta ton yang kini tersimpan di gudang Bulog, bukan tidak mungkin Indonesia bisa kembali menegaskan posisinya sebagai negara yang mandiri dalam urusan pangan.
Namun, tantangan ke depan tetap besar. Stabilitas harga, kelancaran distribusi, serta konsistensi dalam implementasi kebijakan adalah hal-hal yang harus terus dijaga.
Langkah sudah tepat, arah sudah benar. Kini tinggal bagaimana seluruh pihak—pemerintah, Bulog, petani, hingga masyarakat—bersama-sama menjaga momentum emas ini.
0Komentar