![]() |
Presiden Vladimir Putin memerintahkan gencatan senjata tiga hari, tapi dunia meragukan niat damai Moskow. (WahanaNewsco) |
Mulai hari Kamis (8/5), Rusia secara resmi menerapkan gencatan senjata terhadap Ukraina selama tiga hari. Presiden Vladimir Putin memerintahkan penghentian serangan militer yang dimulai tepat pada pukul 00.00 waktu Moskow. Gencatan ini dijadwalkan akan berlangsung hingga 11 Mei.
Deklarasi tersebut sebenarnya telah diumumkan sejak akhir April. Namun, proposal itu tidak sepenuhnya diterima oleh Ukraina. Presiden Volodymyr Zelensky menyatakan keinginannya agar gencatan senjata berlangsung selama 30 hari, bukan hanya tiga hari seperti yang diusulkan Rusia.
Gencatan senjata ini bertepatan dengan peringatan Hari Kemenangan Rusia atas Nazi Jerman dalam Perang Dunia II, yang biasanya diperingati dengan upacara militer besar-besaran.
Tak sedikit yang menilai bahwa momen ini digunakan Rusia untuk memperkuat citra domestik sambil menampilkan kesan ingin berdamai di mata internasional.
Namun demikian, kondisi di lapangan menunjukkan hal yang berlawanan. Hingga Rabu malam, Ukraina melaporkan bahwa pasukan Rusia masih melancarkan serangan udara, termasuk dengan 140 drone yang menewaskan sejumlah warga sipil.
Hal ini tentu menimbulkan keraguan besar terhadap komitmen Moskow dalam menghormati gencatan yang mereka umumkan sendiri.
Jika dilihat ke belakang, ini bukan kali pertama gencatan senjata antara kedua negara terjadi. Sebelumnya, gencatan senjata sempat dilakukan saat Natal tahun 2023 dan saat Paskah pada April 2025. Namun, kedua upaya itu berakhir prematur akibat pelanggaran dari kedua pihak yang saling menuduh.
Gencatan senjata kali ini bisa jadi hanya simbolis belaka. Tanpa adanya pengawasan independen dan komitmen kuat dari kedua belah pihak, peluang terciptanya jeda kemanusiaan yang nyata tampak masih jauh dari harapan. Rusia juga telah memberi peringatan bahwa mereka akan kembali menyerang jika Ukraina melanggar perjanjian ini.
Dari sudut pandang kemanusiaan, bahkan gencatan senjata tiga hari pun seharusnya dimanfaatkan untuk evakuasi warga sipil, pengiriman bantuan, serta perawatan korban luka.
Namun bila gencatan ini hanya digunakan sebagai alat propaganda politik atau strategi militer, maka sekali lagi, rakyat sipil akan menjadi korban utama dari perang tanpa akhir ini.
0Komentar