BPK menemukan penyimpangan penggunaan dana PMN Rp917 miliar pada PT KAI dan tiga BUMN lainnya. Dana tersebut tidak sesuai peruntukan, sementara triliunan lainnya mengendap tanpa kejelasan. (Foto: Dok. KAI)

Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) kembali mengungkap penyimpangan serius dalam penggunaan Dana Penyertaan Modal Negara (PMN). Dalam Laporan Hasil Pemeriksaan Semester II (IHPS II) Tahun 2024, BPK mencatat bahwa dana PMN senilai Rp917,53 miliar yang disalurkan ke empat badan usaha milik negara (BUMN) digunakan tidak sesuai peruntukan.

Empat BUMN yang menjadi sorotan adalah PT Kereta Api Indonesia (Persero), PT Dok dan Perkapalan Kodja Bahari (Persero), PT Barata Indonesia (Persero), dan PT Dok dan Perkapalan Surabaya (Persero). 

Dana yang semestinya digunakan untuk memperkuat struktur permodalan dan meningkatkan kinerja perusahaan justru dialihkan ke pos-pos yang tidak dirinci dalam rencana awal.

Tak hanya itu, BPK juga menemukan dana PMN sebesar Rp4,82 triliun yang disalurkan ke sembilan BUMN lain belum dimanfaatkan sama sekali, bahkan belum memiliki kejelasan peruntukan. Situasi ini memunculkan kekhawatiran serius terkait efektivitas pengelolaan keuangan negara dan akuntabilitas penggunaan anggaran.

Dalam laporannya, BPK menyoroti lemahnya koordinasi antara Kementerian BUMN dan Kementerian Keuangan sebagai faktor penyebab utama dana mengendap di rekening perusahaan tanpa kepastian alokasi. Ketidaksesuaian persetujuan dalam perubahan penggunaan dana menjadi salah satu akar permasalahan.

"Perubahan penggunaan PMN yang disetujui Menteri BUMN tapi tidak disetujui Menteri Keuangan menimbulkan ketidakpastian alokasi dan dana mengendap di rekening perusahaan," tulis BPK.

Kondisi ini menunjukkan adanya celah regulasi serta kurangnya mekanisme pengawasan yang sistemik terhadap penggunaan dana negara yang nilainya sangat besar.

Penyertaan Modal Negara sejatinya merupakan instrumen fiskal yang dirancang untuk memperkuat struktur permodalan BUMN, mendorong proyek strategis, serta mempercepat pertumbuhan ekonomi nasional. 

Penggunaannya diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan dan wajib mendapatkan persetujuan DPR RI. Namun dalam praktiknya, BPK telah berulang kali menemukan penyimpangan penggunaan dana ini.

Kasus terbaru ini menambah daftar panjang penyalahgunaan PMN yang pernah terjadi sebelumnya. Tahun 2021, PMN yang disalurkan ke PT Pelindo II terindikasi digunakan di luar rencana. 

Pada 2020, PT Garuda Indonesia juga sempat menjadi sorotan karena penggunaan PMN yang tidak akuntabel. Bahkan pada 2023, PMN senilai Rp1,2 triliun di PT Krakatau Steel dinyatakan tidak efektif, namun tak ada tindak lanjut hukum berarti.

Penyimpangan dan keterlambatan pemanfaatan PMN berdampak langsung terhadap efektivitas anggaran negara. Dana yang seharusnya bisa mendorong produktivitas justru mengendap, tidak menghasilkan nilai tambah, dan bahkan berpotensi digunakan untuk menambal kerugian atau biaya operasional yang tidak prioritas.

Selain merugikan keuangan negara, kondisi ini juga membuka ruang penyalahgunaan dan menambah beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) di masa mendatang, terutama jika PMN tersebut harus diganti akibat proyek mangkrak atau gagal bayar.

Sebagai langkah korektif, BPK mendesak Kementerian BUMN dan Kementerian Keuangan untuk segera berkoordinasi dalam menentukan langkah pengawasan, realokasi, atau bahkan pengembalian dana yang tidak digunakan sesuai peruntukan.

Tak hanya itu, BPK juga mendorong audit investigatif oleh Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) untuk menelusuri lebih lanjut potensi pelanggaran dalam kasus ini. 

Namun hingga kini, penanganan terhadap temuan-temuan serupa di masa lalu belum banyak menghasilkan sanksi atau penegakan hukum yang signifikan.

Kasus ini kembali menunjukkan pola lama yang belum berubah: pengelolaan dana negara yang lemah dalam kontrol dan lemah dalam akuntabilitas. Jika pola ini terus dibiarkan, maka PMN yang sejatinya merupakan instrumen strategis justru akan berubah menjadi beban fiskal tanpa manfaat nyata.

Transparansi dan sinergi antar lembaga pengelola keuangan negara menjadi keharusan jika pemerintah ingin mengembalikan kepercayaan publik terhadap kebijakan fiskal, khususnya dalam pengelolaan BUMN sebagai agen pembangunan nasional.