Iran memperkuat pertahanan usai diserang Israel dengan membeli baterai rudal permukaan-ke-udara buatan Cina, dibayar pakai minyak. (artileri.org)

Iran bergerak cepat memperkuat pertahanan udaranya setelah konflik panas selama 12 hari dengan Israel, yang resmi dihentikan lewat gencatan senjata pada 24 Juni 2025. 

Dalam waktu singkat, Teheran dilaporkan mulai menerima baterai rudal permukaan-ke-udara (SAM) buatan Cina sebagai respons langsung atas degradasi sistem pertahanan mereka usai serangan udara Israel dan Amerika Serikat.

Laporan dari Military Watch Magazine menyebutkan bahwa dua pesawat angkut militer Cina mendarat di Iran tak lama setelah gencatan senjata, membawa peralatan militer strategis, termasuk sistem HQ-9B, rudal jarak menengah LY-16, dan pertahanan jarak pendek FK-2000. 

Sistem ini diyakini akan melengkapi sekaligus menggantikan peran sistem buatan Rusia seperti S-300PMU-2 dan rudal lokal Bavar 373 yang terbukti kewalahan saat menghadapi serangan jet siluman F-35 dan pembom B-2 milik AS.

Langkah cepat ini disebut sebagai langkah "darurat nasional" setelah situs-situs militer dan peluncuran rudal Iran menjadi target utama serangan koalisi Israel-AS. 

Dalam serangan tersebut, ratusan rudal presisi diluncurkan dari udara dan laut, memukul infrastruktur pertahanan Iran, termasuk pembunuhan terhadap beberapa jenderal tinggi dan ilmuwan utama.

Yang menarik, transaksi akuisisi rudal dari Cina ini tidak dilakukan lewat pembayaran konvensional. Iran membayar dengan minyak mentah. 

Menurut data U.S. Energy Information Administration (EIA) pada Mei 2025, sekitar 90% ekspor minyak dan kondensat Iran saat ini masuk ke Cina. 

Pengiriman dilakukan secara diam-diam lewat jalur transshipment seperti Malaysia, untuk menghindari deteksi dan sanksi dari Washington.

Pejabat di Timur Tengah yang dikutip Middle East Eye menyebut cara ini sebagai “perdagangan kreatif.” Seorang sumber Arab menyebut, "Iran tahu waktu dan peluang. Mereka membayar dengan minyak yang tidak bisa mereka jual di pasar terbuka, dan Cina membayar dengan senjata."

Manuver ini tentu mengirim pesan kuat ke Barat, terutama Washington dan Tel Aviv. Dengan dukungan sistem SAM canggih dari Cina, Iran kini berupaya mempersempit ketimpangan kekuatan udara di kawasan. 

Sistem HQ-9B, misalnya, dikembangkan dari model S-300 Rusia dengan jangkauan hingga 200 km dan kemampuan melacak beberapa target sekaligus. 

Kombinasi dengan LY-16 dan FK-2000 membuat Iran memiliki lapisan pertahanan dari berbagai ancaman, mulai dari jet tempur, drone, hingga rudal jelajah.

Dalam waktu yang hampir bersamaan, Menteri Pertahanan Iran dilaporkan mengunjungi Beijing, menandai pergeseran diplomatik dari ketergantungan militer pada Rusia ke Cina. 

Pengamat menyebut langkah ini sebagai sinyal bahwa Teheran tak lagi percaya penuh pada dukungan Moskow, terutama setelah Rusia tidak banyak bergerak saat Iran diserang.

"Ini bukan sekadar jual beli senjata. Ini strategi geopolitik jangka panjang," ujar analis pertahanan regional kepada Israel National News. Ia menambahkan, "Cina melihat Iran sebagai mitra strategis untuk mengganggu dominasi Barat di Timur Tengah."

Langkah ini juga menimbulkan reaksi di dalam negeri sekutu AS di kawasan. Beberapa sumber intelijen Arab dilaporkan telah menginformasikan akuisisi rudal ini kepada Gedung Putih, mengingat potensi eskalasi lanjutan dari pihak Israel. 

Ancaman lanjutan terhadap situs pengembangan rudal balistik Iran masih terbuka, dan sistem pertahanan baru ini akan menjadi faktor penentu dalam babak konflik berikutnya.

Dengan meningkatnya ketegangan geopolitik dan realokasi aliansi militer, pembelian rudal Cina oleh Iran menjadi lebih dari sekadar transaksi senjata. 

Ini adalah cerminan dari perubahan besar dalam lanskap kekuatan regional, di mana minyak, misil, dan manuver diplomatik berbaur menjadi strategi bertahan hidup satu negara dalam menghadapi tekanan global.