Donald Trump memulai tur ke negara-negara Teluk dengan fokus utama pada kesepakatan ekonomi dan penjualan senjata, melewati isu panas konflik di Gaza. (CNN)

Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, memulai kunjungan diplomatiknya ke kawasan Teluk pada Selasa (13/5). Tur ini menjadi sorotan internasional karena fokus utamanya bukan pada isu-isu keamanan yang tengah memanas di Jalur Gaza, melainkan pada penguatan kerja sama ekonomi dengan negara-negara kaya minyak di kawasan tersebut.

Destinasi pertama Trump adalah Riyadh, Arab Saudi. Di sana, ia dijadwalkan menghadiri Forum Investasi Saudi-AS yang mempertemukan para pejabat tinggi dan pemimpin bisnis dari kedua negara. Kehadiran Trump disebut-sebut akan mempertegas komitmen Washington terhadap hubungan ekonomi strategis dengan kerajaan tersebut.

Dalam kunjungan ini, Trump tidak sendiri. Ia didampingi oleh sejumlah tokoh penting, termasuk Elon Musk yang dikenal sebagai CEO Tesla dan SpaceX, serta dua pejabat senior pemerintahannya: Menteri Luar Negeri Marco Rubio dan Menteri Pertahanan Pete Hegseth. Kehadiran Musk menandai pendekatan yang semakin erat antara sektor swasta AS dan negara-negara Teluk.

Setibanya di wilayah udara Riyadh, rombongan Trump mendapatkan sambutan militer yang impresif. Jet tempur F-15 milik Angkatan Udara Arab Saudi mengawal pesawat presiden secara dekat, sebuah simbol penghormatan yang jarang diberikan kepada tamu asing.

Di Arab Saudi, isu utama yang mencuat adalah rencana kesepakatan besar dalam bidang pertahanan. Menurut sumber diplomatik, Trump akan menawarkan paket persenjataan senilai lebih dari 100 miliar dolar AS. 

Paket tersebut diduga mencakup sejumlah teknologi militer canggih, termasuk pesawat angkut jenis C-130 dan sistem pertahanan lainnya. Penjualan senjata dalam skala ini memperkuat anggapan bahwa keamanan regional dan dominasi militer tetap menjadi komoditas utama dalam hubungan bilateral ini.

Saudi dan AS memang memiliki sejarah panjang kerja sama strategis. AS selama ini menjadi pemasok utama sistem pertahanan dan perlindungan bagi kerajaan, sementara Arab Saudi menjadi mitra utama dalam suplai energi global. Kombinasi ini telah menjadikan hubungan kedua negara sebagai salah satu poros utama politik global.

Perjalanan Trump selanjutnya adalah ke Qatar pada hari Rabu. Di sana, selain membahas investasi dan kemitraan ekonomi, pemerintah Qatar dikabarkan akan menghadiahkan sebuah pesawat mewah Boeing 747-8 yang akan dilengkapi secara khusus untuk digunakan Trump sebagai Air Force One sementara. Hadiah ini bukan hanya simbolik, tetapi juga mencerminkan upaya Qatar untuk memperkuat hubungan bilateral dengan Washington dalam konteks pasca-kepresidenan Trump.

Kunjungan terakhir di kawasan Teluk akan dilakukan di Uni Emirat Arab (UEA). Meskipun agenda resmi belum diungkap secara rinci, sejumlah analis memperkirakan pembahasan akan kembali berpusat pada investasi dan perdagangan, sejalan dengan fokus utama tur ini.

Menariknya, tur ini berlangsung di tengah meningkatnya desakan internasional untuk gencatan senjata antara Hamas dan Israel. Meski Trump memilih tidak menjadikan isu Gaza sebagai topik utama, pengamat menilai bahwa posisi AS tetap akan berpengaruh dalam upaya perdamaian, secara langsung maupun tidak langsung.

Di luar kawasan Teluk, Trump juga dijadwalkan melakukan perjalanan ke Turki. Di sana, ia akan bertemu dengan Presiden Rusia Vladimir Putin dan Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky. Pertemuan tersebut bertujuan membahas konflik berkepanjangan antara Rusia dan Ukraina, sebuah konflik yang telah menciptakan ketegangan geopolitik global selama beberapa tahun terakhir.

Tur kali ini menjadi perjalanan luar negeri kedua bagi Trump sejak keluar dari Gedung Putih. Sebelumnya, ia menghadiri pemakaman Paus Fransiskus di Roma pada awal Mei.

Langkah Trump ini dipandang sebagai bentuk kembalinya pengaruh politiknya ke panggung internasional, meskipun tidak lagi menjabat sebagai presiden. Beberapa pengamat menilai bahwa tur ini juga merupakan upaya memperkuat citra kepemimpinannya menjelang pemilu AS berikutnya, jika ia memutuskan kembali mencalonkan diri.

Bagi banyak negara di Teluk, hubungan pribadi dengan tokoh sekelas Trump masih dianggap penting. Tidak hanya karena kekuatan ekonomi dan militernya, tetapi juga karena Trump dinilai lebih pragmatis dalam berurusan dengan isu-isu Timur Tengah, dibandingkan dengan pendekatan diplomatik yang lebih hati-hati dari para penerusnya.