Misil BrahMos (AP Photo/Gurinder Osan)

Skenario perang nuklir antara India dan Pakistan kembali menghantui Asia Selatan. Ketegangan antara dua negara bersenjata nuklir itu terus meningkat sejak insiden penembakan di wilayah Kashmir India bulan lalu, yang memicu aksi balasan dari New Delhi terhadap wilayah Pakistan. Ketegangan ini muncul usai serangan teroris di kawasan wisata Pahlagam, Kashmir. Serangan tersebut menewaskan 26 wisatawan dan langsung memicu kemarahan India. 

Pemerintah India menuding kelompok militan yang mendapat dukungan dari Pakistan berada di balik serangan tersebut. Sebagai bentuk pembalasan, India meluncurkan serangan ke wilayah Pakistan pada Rabu pekan lalu.

Sejak saat itu, kedua negara terus melakukan aksi saling serang, menciptakan ketegangan militer paling serius sejak bentrokan terakhir mereka pada tahun 2019.

Bayang-bayang perang nuklir di Asia Selatan

Ketika konflik semakin mendekati titik didih, sejumlah kajian lama kembali mencuat. Salah satunya berasal dari surat kabar Routledge yang beberapa tahun lalu meramalkan bahwa tahun 2025 bisa menjadi momen pecahnya konflik nuklir antara India dan Pakistan, dipicu oleh serangan teror besar.

Dalam skenario yang dikembangkan para peneliti, serangan teroris terhadap simbol penting India—yang semula dibayangkan sebagai Parlemen—akan menjadi pemicu mobilisasi militer besar oleh New Delhi ke sepanjang Garis Kontrol (LoC). Pakistan, melihat langkah tersebut sebagai ancaman eksistensial, merespons dengan langkah militer serupa.

Ketegangan pun meningkat secara cepat. Bentrokan terjadi, dan korban mulai berjatuhan dari kedua belah pihak. Ini menciptakan efek domino yang memicu eskalasi lanjutan, seperti yang pernah terjadi pada krisis Januari 2002.

Saat diplomasi gagal, Bom bicara

Dalam skenario yang digambarkan para peneliti, situasi berkembang menuju bencana nuklir. Di hari pertama, Pakistan menggunakan 10 senjata nuklir taktis di wilayah perbatasan mereka sendiri untuk menghentikan laju tank India. Senjata ini masing-masing memiliki daya ledak sekitar 5 kiloton.

Di hari kedua, eskalasi berlanjut. Pakistan meluncurkan 15 senjata nuklir taktis tambahan. India pun membalas dengan 20 serangan udara nuklir strategis ke berbagai instalasi militer dan fasilitas penyimpanan nuklir di Pakistan. Ledakan besar dan gumpalan asap menggambarkan skenario menyeramkan—serupa dengan tragedi Hiroshima atau kebakaran hebat San Francisco tahun 1906.

Hari ketiga menjadi titik kritis. Pakistan menyerang balik dengan 30 serangan udara ke garnisun militer, pangkalan angkatan laut, dan lapangan udara di wilayah perkotaan India. Tak hanya itu, 15 senjata nuklir taktis kembali digunakan.

India merespons dengan menghantam 10 lokasi militer strategis di kota-kota Pakistan. Selama tiga hari berikutnya, Pakistan meluncurkan seluruh senjata strategisnya—sekitar 120 hulu ledak—menargetkan kota-kota besar di India. 

India membalas dengan 70 serangan nuklir, sementara menyimpan 100 senjata cadangan sebagai pencegah terhadap kemungkinan intervensi China.

Ledakan di Asia, Dampak global

Menurut estimasi para peneliti, bila masing-masing negara menggunakan sekitar 250 senjata nuklir, dampaknya sangat menghancurkan. Antara 50 hingga 125 juta orang diperkirakan tewas seketika. Angka itu hanya mencakup korban langsung.

Kota-kota besar di India dan Pakistan akan hancur total. Infrastruktur vital—mulai dari rumah sakit, sistem transportasi, energi, hingga layanan keuangan—akan lumpuh total. Pemulihan hampir mustahil dilakukan dalam waktu singkat.

Namun, bencana tidak berhenti di Asia Selatan. Asap dari kebakaran dan badai api akan memicu efek iklim global. Penurunan suhu dunia, gagal panen massal, dan kelaparan global bisa menjadi konsekuensi lanjutan dari perang nuklir ini.

Jalan menuju perdamaian masih terbuka

Harus diakui, skenario ini bukan sekadar fiksi ilmiah. Ancaman perang nuklir di Asia Selatan sangat nyata, dan dampaknya akan dirasakan seluruh dunia. Namun yang lebih penting, skenario ini masih bisa dicegah.

India dan Pakistan adalah dua negara dengan sejarah konflik panjang, tetapi juga memiliki tanggung jawab besar terhadap rakyatnya dan komunitas global. Menahan diri, membuka jalur diplomasi, dan menekan kelompok-kelompok ekstremis harus menjadi prioritas utama.

Dunia tidak membutuhkan perang nuklir—terutama bukan di masa ketika krisis iklim, ketimpangan, dan konflik global lainnya sedang berlangsung. Langkah kecil menuju perdamaian hari ini, bisa menyelamatkan jutaan nyawa esok hari.