AS jatuhkan sanksi ke Kilang Hebei Xinhai China setelah terlibat dalam perdagangan ilegal minyak Iran, memperketat tekanan terhadap Teheran. (Bloomberg-Patrick T. Fallon)

Pemerintah Amerika Serikat kembali memperketat cengkeramannya terhadap jaringan perdagangan minyak mentah Iran dengan menjatuhkan sanksi kepada sejumlah entitas yang dianggap terlibat dalam pelanggaran tersebut. Sanksi terbaru menyasar kilang minyak independen di Tiongkok, operator terminal pelabuhan, kapal, hingga individu yang disebut memfasilitasi transaksi minyak Iran secara ilegal.

Salah satu target utama adalah Hebei Xinhai Chemical Group Ltd., sebuah kilang swasta kelas menengah yang berlokasi di Provinsi Hebei. 

Departemen Keuangan AS menyatakan, kilang ini menerima minyak mentah Iran senilai ratusan juta dolar, yang dikirim melalui armada kapal bayangan guna menghindari deteksi. Dalam konteks geopolitik saat ini, langkah tersebut dinilai sebagai pelanggaran terhadap sanksi yang telah lama diterapkan Washington terhadap Teheran.

Tak hanya Hebei Xinhai, tiga perusahaan operator terminal di Pelabuhan Dongying juga masuk dalam daftar sanksi. Menurut otoritas AS, terminal-terminal itu diketahui menerima beberapa pengiriman minyak Iran sepanjang tahun lalu. Sanksi serupa dijatuhkan kepada enam kapal dan dua kapten kapal asal India, yang diduga berperan dalam pengangkutan muatan ilegal tersebut.

Ini menandai ketiga kalinya kilang swasta (teapot refinery) di Tiongkok dijatuhi sanksi oleh AS dalam kurun waktu dua bulan terakhir, menyusul tindakan serupa terhadap fasilitas serupa di Provinsi Shandong pada Maret dan April lalu. 

Hebei Xinhai juga diketahui memiliki afiliasi di luar negeri, yakni Xing AO Energy PTE. LTD., perusahaan perantara minyak berbasis di Singapura, yang kini turut dikenai pembatasan.
Pihak Hebei Xinhai belum memberikan pernyataan resmi terkait tuduhan tersebut. 

Sementara itu, Baogang International Port, yang sebelumnya menjadi pemegang saham pengendali terminal Dongying, juga belum merespons permintaan komentar dari media. Ketertutupan semacam ini sering kali memperkuat persepsi publik bahwa entitas terkait memang memiliki keterlibatan aktif dalam pelanggaran.

Langkah ini mencerminkan kelanjutan dari kebijakan maximum pressure terhadap Iran, yang pertama kali digagas oleh mantan Presiden AS Donald Trump. Sanksi tersebut dikelola oleh Departemen Keuangan AS sebagai upaya untuk menekan pendapatan Iran dari sektor energi, yang dianggap digunakan untuk mendanai aktivitas militer dan geopolitik yang mengancam stabilitas kawasan.

Menteri Keuangan AS, Scott Bessent, dalam pernyataan resminya menegaskan bahwa Washington akan terus menindak seluruh mata rantai pasokan minyak Iran. Tujuannya jelas: membatasi akses Teheran terhadap sumber devisa utama yang dapat memperkuat posisinya di panggung internasional, khususnya dalam mendanai program-program yang dianggap provokatif.

Dari sisi ekonomi, langkah ini juga berdampak besar terhadap kilang swasta di Tiongkok, terutama yang berada di Shandong — kawasan yang dikenal sebagai importir utama minyak Iran. 

Aktivitas perdagangan mereka selama ini bergantung pada mekanisme pengiriman ship-to-ship transfer di wilayah lepas pantai Malaysia. Pola tersebut digunakan untuk menyamarkan asal muatan, namun kini mulai terganggu akibat peningkatan pengawasan dari otoritas AS dan China sejak awal 2025.

Sebagai respons, banyak pedagang minyak kini mulai mengalihkan operasionalnya ke dermaga swasta agar tetap dapat mengakses pasokan minyak, meski dengan risiko hukum yang tinggi. 

Situasi ini mencerminkan bagaimana sanksi ekonomi bisa berdampak sistemik, tidak hanya bagi negara target, tetapi juga mitra dagang dan aktor swasta yang beroperasi di wilayah abu-abu regulasi internasional.