![]() |
PT Pertamina International Shipping (PIS) tambah armada kapal tipe Very Large Gas Carriers (VLGC) yang dinamai Kapal Pertamina Gas Dahlia. (Dok. PIS) |
Pemerintah Indonesia melalui Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, mengonfirmasi langkah tegas untuk menghentikan impor bahan bakar minyak (BBM) dari Singapura. Ke depan, pasokan BBM akan dialihkan ke negara-negara lain seperti Amerika Serikat (AS) dan sejumlah negara di Timur Tengah.
Menurut Bahlil, keputusan ini bukan lagi sekadar rencana, melainkan sudah berada di tahap finalisasi. Ia menyebutkan bahwa dalam waktu sekitar enam bulan, proses impor dari Singapura akan berakhir.
Langkah ini didorong oleh pembangunan dermaga baru oleh PT Pertamina (Persero), yang nantinya mampu menerima kapal berukuran besar. Hal ini penting karena kapal dari Singapura selama ini berukuran kecil, sehingga pengangkutan menjadi tidak efisien.
Efisiensi Logistik Jadi Pertimbangan
"Kalau pelabuhan kita bisa menampung kapal besar, maka satu kali angkut bisa membawa lebih banyak. Itu akan mengurangi ongkos logistik secara signifikan," ujar Bahlil.
Ini menunjukkan bahwa aspek efisiensi logistik juga menjadi perhatian utama pemerintah dalam kebijakan energi.Saat ini, Singapura menyuplai sekitar 54–59% dari total konsumsi BBM Indonesia yang diperkirakan mencapai 1,6 juta barel per hari pada 2024.
Namun, porsi itu akan dikurangi secara bertahap.
"Pengurangan akan dilakukan secara bertahap, mungkin bisa 50% dulu, hingga suatu saat nanti menjadi nol," jelas Bahlil.
Negosiasi Geopolitik dan Imbal Dagang
Pengalihan impor ini tidak hanya soal efisiensi, tetapi juga bagian dari strategi diplomasi dagang. Bahlil menyebut, pembelian BBM, LPG, dan minyak mentah dari AS menjadi bagian dari negosiasi dagang yang lebih luas, terutama untuk menghindari sanksi tarif dari pemerintahan Presiden Donald Trump.
Menurutnya, Indonesia perlu menjaga keseimbangan geoekonomi dan geopolitik. Menurut pengakuannya, pembelian BBM selama ini tidak melalui kontrak jangka panjang, melainkan sistem pasar spot, sehingga fleksibel untuk dialihkan ke pemasok lain.
Namun, rencana ini menuai catatan kritis dari pelaku industri. Ketua Komite Investasi Asosiasi Perusahaan Migas Nasional (Aspermigas), Moshe Rizal, menilai langkah ini berpotensi menambah beban pada anggaran negara.
Ia menjelaskan, harga LPG dari AS cenderung naik karena tingginya biaya produksi, terutama akibat perang tarif dengan China. Tidak seperti LNG yang bisa langsung diambil dari sumber alam, LPG memerlukan proses pengolahan di kilang, yang tentu memerlukan biaya tambahan.
“Kalau permintaan LPG AS naik karena banyak negara melakukan strategi serupa, maka harganya juga ikut naik. Ini pasti berdampak ke APBN karena pemerintah juga masih harus menanggung subsidi,” jelas Moshe.
Beban Ganda untuk Negara
Alokasi subsidi LPG dalam APBN 2025 sudah mencapai Rp87,6 triliun, naik dari tahun sebelumnya. Jika harga beli LPG dari luar negeri naik, sementara kuotanya tidak dikurangi, maka dampaknya ke fiskal akan ganda—dari sisi impor dan subsidi.
"Kalau pemerintah bilang tidak berdampak ke APBN, menurut saya itu terlalu optimistis," tambah Moshe.
Dari sisi logistik, rute pengiriman dari AS jauh lebih panjang ketimbang dari Timur Tengah atau Singapura. Ini otomatis menambah ongkos pengiriman. Apalagi negara lain juga tengah berlomba-lomba meningkatkan impor dari AS demi menghindari tarif serupa.
Jika tren ini terus berlanjut, bukan tidak mungkin harga komoditas energi dari AS akan semakin tidak kompetitif.
Langkah diversifikasi impor energi memang penting demi kemandirian energi dan keseimbangan geopolitik. Namun, keputusan ini perlu disertai dengan perhitungan matang terkait dampak fiskal, termasuk ke APBN dan subsidi energi.
Kebijakan besar seperti ini idealnya juga melibatkan kajian terbuka dan evaluasi menyeluruh, agar publik memahami logika di baliknya dan tidak hanya menerima kebijakan dari satu sisi saja.
Indonesia sedang mengarahkan ulang strategi energi nasional, dari ketergantungan terhadap Singapura ke pemasok lain seperti AS dan negara-negara Timur Tengah. Ini adalah bagian dari strategi diplomasi dan efisiensi jangka panjang. Namun, tantangan besar ada di sisi fiskal dan logistik yang perlu disiapkan dengan cermat.
0Komentar