Harga emas turun tajam sebesar 3% setelah kesepakatan dagang antara AS dan Tiongkok yang mengurangi tarif timbal balik. (Treasury)

Harga emas mengalami penurunan tajam pada perdagangan hari ini, Senin (12/5/2025), menyentuh titik terendah dalam lebih dari satu minggu terakhir. Penurunan ini terjadi setelah Amerika Serikat dan Tiongkok sepakat untuk mengurangi tarif timbal balik yang sebelumnya memicu ketegangan dagang. Kesepakatan tersebut disambut positif oleh pasar, yang berujung pada penguatan dolar AS dan menurunnya permintaan terhadap aset safe haven seperti emas.

Berdasarkan data pasar global, harga emas spot tercatat anjlok sekitar 3% dan kini berada di kisaran US$3.224,34 per ounce. Sementara itu, emas berjangka di Amerika Serikat tercatat turun lebih dalam, yakni sekitar 3,5% ke level US$3.228,10 per ounce. Ini merupakan harga terendah sejak 1 Mei 2025, menandai titik balik penting dalam tren bullish emas yang sempat terjadi beberapa pekan sebelumnya.

Analis pasar dari UBS, Giovanni Staunovo, menyatakan bahwa meredanya ketegangan antara dua negara ekonomi terbesar dunia tersebut secara langsung menekan permintaan terhadap logam mulia. 

Dalam pernyataannya, ia mengatakan bahwa kesepakatan sementara untuk menangguhkan tarif selama 90 hari membuat investor cenderung beralih dari aset lindung nilai ke instrumen yang lebih berisiko, terutama mengingat iklim ketidakpastian yang mulai mereda.

Meski demikian, Staunovo juga mengingatkan bahwa penurunan harga ini belum tentu bersifat permanen. Menurutnya, tarif yang masih berlaku serta potensi perlambatan ekonomi akibat dampak kebijakan sebelumnya dapat kembali mendorong bank sentral untuk menurunkan suku bunga pada akhir tahun. 

Jika hal tersebut terjadi, permintaan terhadap emas bisa kembali menguat, apalagi jika bank sentral dunia melihat penurunan harga ini sebagai kesempatan untuk menambah cadangan emas mereka.

Kesepakatan ini diumumkan usai pertemuan antara Menteri Keuangan AS Scott Bessent dan pejabat tinggi Tiongkok di Jenewa, Swiss. Dalam konferensi persnya, Bessent mengungkapkan bahwa kedua negara sepakat untuk menangguhkan kebijakan tarif selama 90 hari ke depan. 

Tarif atas sejumlah barang elektronik, termasuk semikonduktor dan perangkat digital lainnya, akan dipangkas hingga 115%, sebuah langkah yang dipandang sebagai sinyal kuat meredanya ketegangan bilateral.

Namun, perkembangan ini juga menimbulkan konsekuensi lain. Indeks dolar AS melonjak lebih dari 1% terhadap mata uang utama lainnya, termasuk yen Jepang dan euro. Penguatan dolar secara umum membuat emas menjadi lebih mahal bagi investor yang memegang mata uang non-dolar, sehingga permintaan terhadap emas secara global ikut tertekan.

Dari sisi analis teknikal dan pasar komoditas, Jigar Trivedi dari Reliance Securities menilai bahwa tren penurunan harga emas bisa berlanjut dalam jangka pendek. Ia memperkirakan bahwa harga logam mulia ini bisa turun lebih lanjut hingga mencapai level psikologis US$3.200 per ounce, terutama jika kekuatan dolar terus bertahan dan situasi geopolitik tetap kondusif.

Meskipun demikian, sejumlah pelaku pasar masih melihat peluang rebound. Penurunan emas yang didorong oleh faktor eksternal ini dinilai sebagai koreksi sehat setelah reli panjang dalam beberapa bulan terakhir. 

Selain itu, berbagai risiko global, seperti ketidakpastian suku bunga, konflik di kawasan tertentu, serta perlambatan ekonomi global, masih berpotensi mengangkat kembali permintaan terhadap aset-aset aman.

Dalam jangka menengah, harga emas sangat mungkin bergerak fluktuatif, tergantung pada perkembangan lebih lanjut dari hubungan dagang AS-Tiongkok, arah kebijakan moneter global, serta dinamika pasar mata uang. 

Investor disarankan untuk tetap mencermati kondisi makroekonomi global sebelum mengambil keputusan terkait investasi logam mulia.