Perkembangan positif dalam pembicaraan dagang antara dua negara ekonomi terbesar dunia, Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok, kembali menghidupkan sentimen pasar global. Para investor menunjukkan optimisme baru terhadap aset-aset berisiko seperti saham, setelah kedua negara menyepakati langkah konkret yang bertujuan meredakan ketegangan tarif yang telah mengguncang pasar selama beberapa bulan terakhir.
Dalam waktu yang bersamaan, indeks dolar AS – yang menjadi indikator kekuatan mata uang Negeri Paman Sam terhadap enam mata uang utama dunia – melonjak kembali ke atas level psikologis 100.
Ini merupakan level tertinggi dalam satu bulan terakhir, tepatnya sejak Presiden AS Donald Trump mengumumkan kebijakan tarif balasan pada awal April lalu. Kenaikan nilai dolar ini tentu memberi tekanan tambahan terhadap mata uang negara lain, termasuk rupiah, yang sejak awal tahun telah menghadapi tantangan dari ketidakpastian global.
Hari ini, pasar keuangan dalam negeri masih dalam masa libur nasional memperingati Hari Raya Waisak. Akibatnya, aktivitas di bursa saham, perdagangan obligasi, serta pasar spot rupiah turut berhenti hingga Selasa. Namun, transaksi derivatif rupiah di pasar internasional tetap berlangsung.
Kontrak Nondeliverable Forward (NDF) rupiah yang sempat menguat pada awal sesi Asia setelah pengumuman kesepakatan dagang, justru mengalami pembalikan arah pada sesi Eropa. Rupiah melemah ke kisaran Rp16.706 per dolar AS pada pukul 15.33 WIB, mengindikasikan depresiasi sekitar 0,7% dibandingkan level penutupan minggu lalu.
Level tersebut menjadi titik terlemah rupiah di pasar luar negeri sejak akhir April, saat rupiah berada di angka Rp16.729 per dolar AS. Ini menunjukkan bahwa ekspektasi terhadap pemulihan nilai tukar rupiah masih sangat rapuh, bahkan di tengah kabar positif dari negosiasi dagang global.
Bank Indonesia (BI) kemungkinan besar tidak akan tinggal diam terhadap depresiasi yang terlalu tajam di pasar internasional. Sebab, pergerakan di pasar luar negeri bisa memberikan tekanan lebih lanjut saat pasar domestik kembali aktif pada hari Rabu. Perlu dicatat bahwa sejak meningkatnya gejolak pasar akibat kebijakan tarif balasan dari AS pada awal April, BI telah memperluas cakupan intervensi hingga ke pasar offshore guna menjaga stabilitas nilai tukar.
Pelemahan tidak hanya dialami rupiah. Mata uang negara-negara maju pun ikut terseret oleh kebangkitan dolar AS. Yen Jepang tercatat sebagai yang paling tertekan dengan penurunan 1,7%, diikuti oleh franc Swiss dan euro yang masing-masing terkoreksi 1,64% dan 1,26%. Poundsterling juga melemah 1%, sementara krona Swedia dan dolar Australia terdepresiasi 1,15% dan 0,16% secara berurutan.
Di kawasan Asia, mata uang seperti won Korea Selatan, dolar Singapura, dolar Taiwan, dan dolar Hong Kong juga tak luput dari tekanan. Menariknya, yuan – baik versi offshore maupun renminbi – justru menunjukkan penguatan. Ini bisa dibaca sebagai respons pasar terhadap langkah konstruktif Tiongkok dalam negosiasi, sekaligus sebagai sinyal bahwa stabilitas ekonomi Tiongkok tetap menjadi prioritas nasional.
Jika pasar domestik dibuka hari ini, kemungkinan besar rupiah akan mengalami tekanan serupa. Penguatan dolar yang masif dan sentimen risiko yang masih membayangi menjadi kombinasi yang sulit dihindari. Sepanjang pekan lalu, rupiah tercatat melemah 0,5% terhadap dolar AS, menjadikannya kinerja terburuk dalam satu bulan terakhir.
Terobosan Dagang: Pengurangan Tarif Selama 90 Hari
Dalam konferensi pers yang berlangsung di Jenewa, Menteri Keuangan AS Scott Bessent mengumumkan bahwa kedua negara telah mencapai kesepakatan awal untuk menurunkan tarif yang saling dikenakan, berlaku selama 90 hari ke depan.
Pemerintah AS setuju untuk memangkas tarif atas barang-barang impor asal Tiongkok, dari sebelumnya 145% menjadi 30%. Pengurangan ini mencakup produk-produk sensitif seperti fentanil, yang akan berlaku mulai 14 Mei.
Sebagai timbal balik, Tiongkok juga menurunkan tarif mereka atas barang-barang dari AS dari 125% menjadi hanya 10%. Langkah ini disambut pasar sebagai sinyal kuat bahwa kedua negara tidak ingin memperpanjang konflik dagang yang selama ini mengganggu stabilitas ekonomi global.
Dalam pernyataannya, Bessent menegaskan bahwa pembicaraan berjalan konstruktif dan terbuka, khususnya mengenai isu fentanil, yang telah menjadi perhatian besar di AS. Ia juga menyebut bahwa tidak ada niatan dari kedua belah pihak untuk mengambil jalan pemisahan ekonomi (decoupling), sebuah skenario yang sebelumnya sempat menghantui para pelaku pasar.
Selain itu, AS dan Tiongkok akan membentuk mekanisme khusus untuk melanjutkan diskusi secara lebih mendalam mengenai hubungan ekonomi dan perdagangan bilateral ke depan. Meskipun topik mata uang tidak menjadi pokok bahasan dalam pertemuan kali ini, sinyal kerja sama yang lebih erat tentu memberi harapan bagi stabilitas jangka menengah.
Menariknya, Bessent juga mengungkap bahwa negara lain seperti Britania Raya dan Swiss sudah masuk dalam daftar pembicaraan lanjutan mengenai perjanjian dagang bilateral dengan AS. Ini menunjukkan bahwa AS tengah mengambil langkah strategis untuk memperluas hubungan dagangnya secara global, di luar ketegangan dengan Tiongkok.
Stabilitas Global Masih Rentan, Intervensi dan Kebijakan Makro Tetap Krusial
Meskipun kabar negosiasi dagang membawa angin segar, pasar belum sepenuhnya pulih dari trauma gejolak tarif. Pergerakan nilai tukar yang fluktuatif serta ketergantungan pada intervensi bank sentral menunjukkan bahwa stabilitas keuangan global masih berada di zona rawan.
Untuk negara seperti Indonesia, di mana rupiah sangat dipengaruhi oleh dinamika eksternal, kebijakan moneter dan strategi cadangan devisa tetap menjadi tameng utama. Selain itu, penguatan fondasi ekonomi domestik, seperti peningkatan ekspor non-komoditas dan investasi langsung, harus terus digenjot agar tidak terlalu rentan terhadap tekanan eksternal.
Secara keseluruhan, langkah kompromi dari AS dan Tiongkok memang patut diapresiasi, tetapi dunia masih menunggu bukti konkret dari komitmen jangka panjang kedua negara tersebut dalam menjaga keterbukaan perdagangan global.
0Komentar