Fenomena pemutusan hubungan kerja (PHK) yang mencuat sejak pandemi Covid-19 belum menunjukkan tanda-tanda mereda. Perusahaan teknologi, khususnya, terus memangkas jumlah karyawan sebagai bentuk efisiensi di tengah ketidakpastian ekonomi global yang terus bergejolak. Namun, di balik tren ini, ada satu faktor lain yang mulai mendapat sorotan besar: kecerdasan buatan (AI).
Masuknya teknologi AI ke berbagai lini industri menciptakan dualitas: peluang sekaligus ancaman. Di satu sisi, AI menjanjikan efisiensi dan inovasi; di sisi lain, muncul kekhawatiran bahwa peran manusia akan tergantikan.
Perdebatan pun mengemuka—apakah AI akan sepenuhnya menggantikan manusia atau justru menjadi mitra kolaboratif yang memperkuat kapabilitas manusia di tempat kerja?
Sebuah survei global oleh Salesforce yang melibatkan 200 Chief Human Resource Officer (CHRO) memberikan gambaran menarik soal masa depan tenaga kerja.
Temuan mereka menunjukkan bahwa 77% petinggi HR percaya AI akan menjadi elemen krusial dalam transformasi dunia kerja. Bahkan, pemanfaatan agen AI diperkirakan melonjak hingga 327% dalam dua tahun ke depan.
Ini menunjukkan bahwa perusahaan tidak lagi memandang AI sebagai alat bantu semata, tetapi sebagai fondasi utama dalam mengatur ulang strategi kerja. Tak hanya itu, 24% dari total tenaga kerja global diproyeksikan akan mengalami perubahan tanggung jawab seiring meningkatnya peran AI.
Menariknya, 80% petinggi HR optimistis bahwa pada tahun 2030 nanti, sebagian besar tempat kerja akan menerapkan kolaborasi manusia dan AI dalam satu ekosistem kerja yang saling mengisi.
Produktivitas Naik, Tapi Adaptasi Menjadi Kunci
Di tengah perubahan masif ini, ada sisi positif yang perlu digarisbawahi. Menurut laporan yang sama, produktivitas manusia justru diperkirakan naik 30% berkat bantuan AI. Beban kerja manusia pun bisa berkurang hingga 19%. Ini membuka ruang bagi pekerja untuk bertransformasi ke posisi yang lebih strategis dan bermakna.
Namun, perubahan tak bisa dihindari. Sebanyak 77% CHRO yang disurvei percaya bahwa struktur organisasi akan berubah total. Bahkan, 81% perusahaan mengaku tengah mempersiapkan diri untuk adopsi AI, dengan 20% sudah mulai mengimplementasikannya, dan 61% lainnya bersiap melatih karyawan menghadapi peran baru.
Yang menarik, keterampilan yang kini semakin dihargai bukanlah kemampuan teknis, tetapi soft skill—hal-hal yang tak bisa ditiru oleh mesin. Kemampuan seperti membangun kepercayaan, menunjukkan empati, dan menciptakan lingkungan kerja yang aman menjadi kunci utama. Sekitar 75% HR menyebut soft skill akan menjadi aset berharga di era AI.
Profesi yang Terancam dan Profesi yang Tumbuh
Namun, seperti dua sisi mata uang, setiap transformasi membawa dampaknya. Laporan Future of Work dari World Economic Forum (WEF) memperkirakan 83 juta pekerjaan akan hilang antara 2023 hingga 2027. Bahkan, 23% dari semua profesi diprediksi akan berubah total.
Beberapa sektor yang mengalami disrupsi besar termasuk media, hiburan, olahraga, serta sektor pemerintahan, teknologi informasi, dan logistik. Berikut adalah daftar pekerjaan yang kemungkinan besar akan terdampak:
• Teller bank
• Petugas pos
• Kasir dan loket
• Staf entri data
• Sekretaris dan administrasi
• Petugas pencatat stok
• Staf akuntansi dan keuangan
• Legislator dan pejabat publik
• Staf statistik dan asuransi
• Penjual keliling dan kaki lima
• Satpam
• Manajer kredit
• Penguji software
• Relationship manager
Meski terdengar suram, ada sisi cerah yang menyertainya. Perkembangan AI justru membuka peluang besar di berbagai sektor baru. Berikut adalah beberapa profesi yang diperkirakan akan tumbuh pesat:
• Spesialis AI dan machine learning
• Spesialis keberlanjutan
• Analis business intelligence
• Analis keamanan informasi
• Engineer fintech
• Data scientist dan analis data
• Engineer robotika
• Spesialis big data
• Operator mesin pertanian
• Spesialis transformasi digital
• Pengembang blockchain
• Spesialis e-commerce
• Spesialis pemasaran digital
• Data engineer
• Desainer industri dan komersial
Kolaborasi Adalah Jalan Tengah
Melihat semua data tersebut, jelas bahwa masa depan dunia kerja tidaklah soal manusia melawan mesin, melainkan soal manusia bersama mesin.
Transformasi ini mengharuskan setiap pekerja untuk lebih adaptif dan terus belajar. Alih-alih melihat AI sebagai pesaing, ada baiknya kita menempatkan AI sebagai mitra yang mampu memperkuat kualitas kerja dan membuka peluang baru.
Jika perusahaan dan pekerja mampu mengelola transisi ini dengan bijak, masa depan dunia kerja bukan hanya akan lebih efisien, tapi juga lebih manusiawi.
Dunia kerja ke depan bukan tentang siapa yang paling canggih, tetapi siapa yang paling mampu beradaptasi dengan perubahan.
0Komentar