![]() |
Ilustrasi kerja. (foto: AdaTah/pixabay @RonaldCandonga) |
Belakangan ini, ramai dibicarakan mengenai perbedaan etika kerja antara orang China dan Indonesia. Banyak warganet yang mengagumi cara kerja orang China dan berharap Indonesia bisa meniru gaya kerja mereka yang dianggap lebih efisien.
Salah satunya, seorang pengguna media sosial menyampaikan kekagumannya terhadap etika kerja orang China, yang dinilai sangat cepat, seperti membalas pesan WhatsApp dalam lima menit, langsung menuju inti pembicaraan, tanpa bertele-tele.
Di sisi lain, budaya kerja orang Indonesia sering kali dianggap lebih lambat. Hal ini dibahas oleh seorang warganet yang membandingkan kebiasaan orang Indonesia yang cenderung mengatur pertemuan untuk membahas hal-hal yang sebenarnya bisa diselesaikan lewat pesan singkat.
Tak jarang pula, pertemuan-pertemuan ini berlangsung lama, dengan sebagian besar waktunya terbuang untuk membicarakan hal-hal yang kurang penting.
Namun, menurut pakar Sumber Daya Manusia (SDM), Adham Somantrie, budaya kerja sangat dipengaruhi oleh perusahaan tempat seseorang bekerja, bukan semata-mata karena asal daerah pekerja tersebut.
Adham menjelaskan bahwa setiap perusahaan memiliki budaya kerja yang unik, yang terbentuk berdasarkan berbagai faktor, termasuk nilai-nilai perusahaan dan lingkungan tempat perusahaan tersebut beroperasi.
"Budaya kerja sangat bergantung pada perusahaan, bukan stereotipe daerah asal," ujar Adham.
Meskipun begitu, ia juga mengakui bahwa tradisi dan budaya dari daerah asal seseorang bisa mempengaruhi cara mereka bekerja. Namun, dia menegaskan bahwa menilai seseorang hanya berdasarkan asal daerahnya adalah bentuk diskriminasi.
Adham juga menambahkan bahwa praktik "Fair Hiring", yang diterapkan oleh perusahaan seperti SEEK, termasuk Jobstreet dan Jobsdb, memastikan setiap orang memiliki kesempatan yang sama dalam bekerja, tanpa memandang latar belakang mereka.
"Pekerja dinilai berdasarkan keterampilan dan etos kerja mereka, bukan faktor lain seperti usia, jenis kelamin, ras, suku, atau pendidikan," kata Adham.
Dengan pemahaman ini, kita diingatkan untuk tidak hanya melihat budaya kerja dari satu sisi atau berdasarkan stereotipe, melainkan untuk memahami konteks yang lebih luas terkait dengan perusahaan dan individu itu sendiri.