![]() |
| Trump hidupkan lagi istilah “G2” dalam pertemuannya dengan Presiden Xi Jinping di Busan, menandai perubahan arah diplomasi dan hubungan strategis AS–Tiongkok. (AFP) |
Presiden Amerika Serikat Donald Trump menghidupkan kembali istilah diplomatik “G2” untuk menggambarkan hubungan antara AS dan Tiongkok. Istilah yang telah lama tidak digunakan itu kembali mencuat menjelang pertemuan puncak Trump dengan Presiden Tiongkok Xi Jinping di Busan, Korea Selatan, pada 30 Oktober 2025.
Melalui akun Truth Social, Trump menulis, “THE G2 WILL BE CONVENING SHORTLY!” beberapa jam sebelum pertemuan berlangsung.
Seusai pertemuan, ia kembali menegaskan istilah tersebut dengan menyebut, “Pertemuan G2 saya dengan Presiden Xi dari Tiongkok sangat baik bagi kedua negara kita. Pertemuan ini akan menghasilkan perdamaian dan kesuksesan abadi.”
Pertemuan di Busan menghasilkan beberapa kesepakatan konkret. AS menurunkan tarif atas produk impor dari Tiongkok dari 57% menjadi 47%. Beijing, di sisi lain, sepakat memperluas pembelian kedelai AS, memperpanjang kelonggaran ekspor bahan tanah jarang, serta memperkuat kerja sama pengendalian perdagangan prekursor fentanil yang selama ini menjadi isu utama di Washington.
Namun, sejumlah analis menilai langkah tersebut lebih sebagai “gencatan taktis” ketimbang perubahan mendasar dalam hubungan dua kekuatan besar itu, seperti dilaporkan Reuters dan The Economic Times.
Konsep “G2” sendiri pertama kali diperkenalkan oleh ekonom C. Fred Bergsten pada 2005, yang menggambarkan kemungkinan AS dan Tiongkok mengoordinasikan kebijakan ekonomi global. Dalam pandangan lebih luas, istilah itu menyiratkan pengakuan terhadap posisi setara antara kedua negara dalam tatanan dunia.
Kebangkitan istilah tersebut disambut positif di Beijing. Seorang penasihat kebijakan pemerintah Tiongkok menyebut pertemuan Busan sebagai “bersejarah” karena menunjukkan bahwa Washington “mengakui Tiongkok sebagai mitra sejajar.”
Sejumlah sekutu AS menyampaikan kekhawatiran. Mantan pejabat pemerintahan Biden, Mira Rapp-Hooper, mengatakan kepada Washington Post bahwa negara-negara seperti Jepang, Australia, dan India mendengar sinyal bahwa Amerika Serikat tunduk pada preferensi Tiongkok di Asia, yang berpotensi melemahkan posisi mereka.
Menteri Pertahanan AS Pete Hegseth turut memperkuat narasi baru tersebut. Dalam unggahan resminya, ia menyebut pertemuannya dengan Menteri Pertahanan Tiongkok Laksamana Dong Jun “menetapkan nada untuk perdamaian dan kesuksesan abadi bagi kedua negara.”
Meski demikian, sejumlah pengamat menilai dunia kini lebih multipolar dibanding ketika konsep G2 pertama kali muncul. Dengan peran semakin besar dari Uni Eropa, India, dan negara-negara Asia Tenggara, kerangka bilateral AS–Tiongkok dinilai terlalu menyederhanakan realitas geopolitik global.
Bagi kawasan Asia Tenggara, termasuk Indonesia, dinamika “G2” berpotensi mengubah pola hubungan kekuatan besar di kawasan. Negara-negara ASEAN diperkirakan akan memperkuat strategi diplomasi beragam mitra guna menjaga keseimbangan di tengah potensi duopoli baru antara Washington dan Beijing.

0Komentar