![]() |
| Elon Musk mengusulkan konstelasi satelit AI untuk mengatur energi matahari yang mencapai Bumi demi mencegah pemanasan global. (Center for International Environmental Law) |
Elon Musk kembali memantik perdebatan tentang intervensi iklim global. Pada Senin (3/11), CEO SpaceX itu mengusulkan penggunaan satelit berbasis kecerdasan buatan (AI) untuk mengendalikan jumlah energi matahari yang mencapai Bumi, dengan tujuan mencegah pemanasan global.
Ide tersebut ia sampaikan melalui platform X (sebelumnya Twitter), yang langsung menuai tanggapan beragam dari komunitas ilmiah.
Dalam unggahan itu, Musk menjelaskan visinya tentang konstelasi satelit bertenaga surya berskala besar yang dapat menyesuaikan pantulan energi matahari secara dinamis. Ia menyebut sistem tersebut dapat berfungsi layaknya pengatur intensitas sinar matahari di orbit.
Konsep ini sejalan dengan teori manajemen radiasi matahari yang telah lama dibahas dalam kajian geoengineering berbasis ruang angkasa, termasuk ide pelindung matahari orbital yang diperkirakan mampu mengimbangi pemanasan global hingga dua derajat Celsius.
Musk menambahkan bahwa proyek itu merupakan bagian dari rencana energi ruang angkasa yang lebih luas. Ia mengklaim satelit tenaga surya dapat menghasilkan hingga 100 gigawatt listrik dalam beberapa tahun ke depan jika seluruh sistem pendukung selesai dikembangkan.
Bahkan, menurutnya, fasilitas produksi di bulan bisa meningkatkan kapasitas hingga 100 terawatt per tahun, tulis PCMag.
Namun, para ilmuwan memperingatkan bahwa ide tersebut sarat risiko dan hambatan teknis. Penelitian menunjukkan sistem semacam itu akan membutuhkan ribuan satelit dan dana lebih dari US$100 miliar untuk skala global.
Para pakar juga menyoroti potensi efek samping, seperti ketidakseimbangan suhu regional serta persoalan tata kelola atas kontrol sistem yang begitu kuat.
“Pendekatan geoengineering seperti ini bisa berisiko menciptakan ketidakstabilan iklim baru,” kata profesor iklim Raymond Pierrehumbert, seperti dikutip Prospect Magazine.
Kritik juga datang dari kalangan lingkungan. Di saat Musk mempromosikan solusi iklim orbit, SpaceX justru tengah menghadapi penundaan peluncuran roket akibat evaluasi dampak lingkungan oleh Angkatan Udara AS.
Situasi ini menyoroti paradoks antara ambisi iklim dan praktik operasional perusahaan yang masih disorot regulator, sebagaimana diberitakan TechShots dan NewsBytes.
Geoengineering ruang angkasa hingga kini belum dianggap layak oleh Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC). Kajian Carnegie Endowment for International Peace mencatat biaya potensial bisa mencapai triliunan dolar, sementara metode alternatif seperti injeksi aerosol stratosfer dapat menurunkan suhu global dengan biaya sekitar 18 miliar dolar.
Dalam survei New Scientist, lebih dari separuh ilmuwan iklim menyatakan kekhawatiran terhadap kemungkinan “aktor nakal” yang dapat menerapkan teknologi geoengineering tanpa tata kelola internasional.
Michael Mann, pakar iklim dari University of Pennsylvania, menilai ide semacam itu menyimpang dari prioritas utama, yaitu mengurangi emisi secara langsung.
Gagasan Musk tentang satelit AI juga bersinggungan dengan rencana SpaceX mengembangkan pusat data orbit menggunakan satelit Starlink generasi ketiga (V3). Satelit tersebut diklaim mampu memproses data hingga 1 terabit per detik, dan berpotensi menjadi infrastruktur untuk kluster komputasi berbasis energi surya, menurut laporan Teslarati dan NotebookCheck.
Meski menuai antusiasme di dunia teknologi, para peneliti menilai proyek geoengineering orbit masih jauh dari penerapan praktis. Hingga kini, belum ada bukti bahwa sistem pengatur energi matahari di ruang angkasa dapat dijalankan tanpa menimbulkan risiko besar bagi kestabilan iklim Bumi.

0Komentar