Logo perusahaan energi Lukoil terlihat di fasilitas mereka di Osinniki, Rusia (4 April 2016). (Depositphotos)

Pendapatan minyak dan gas Rusia anjlok 27 persen pada Oktober 2025 dibandingkan periode yang sama tahun lalu, menyusul sanksi luas Amerika Serikat terhadap dua raksasa energi negara itu, Rosneft dan Lukoil. 

Data Kementerian Keuangan Rusia menunjukkan pendapatan sektor migas mencapai 888,6 miliar rubel atau sekitar US$9,7–10,9 miliar, turun dari sekitar 1,2 triliun rubel pada Oktober 2024.

Langkah pembatasan yang diumumkan Washington pada 22 Oktober dan dikoordinasikan dengan Inggris serta Uni Eropa itu menargetkan Rosneft, Lukoil, dan seluruh anak perusahaannya. 

Kebijakan tersebut memblokir individu maupun entitas AS dari transaksi dengan kedua perusahaan, serta membuka potensi sanksi sekunder bagi bank dan perusahaan non-AS yang terlibat dalam perdagangan signifikan dengan mereka. Departemen Keuangan AS memberikan izin umum hingga 21 November untuk penyelesaian transaksi yang sedang berjalan agar pasar tidak terguncang mendadak.

Kementerian Keuangan Rusia memperkirakan pendapatan migas sepanjang 2025 hanya akan mencapai sekitar 8,5 triliun rubel, lebih rendah 22 persen dari proyeksi awal 10,94 triliun rubel. Pemerintah di Moskwa disebut akan menutup kekurangan itu lewat penerbitan utang dan kebijakan pajak baru. 

“Dengan volume ekspor yang menurun dan harga jual yang ditekan, anggaran negara berisiko kehilangan hingga 120 miliar rubel per bulan,” tulis The Moscow Times mengutip analis keuangan setempat, Kamis (6/11).

Efek sanksi terasa cepat di luar negeri. Di Finlandia, jaringan stasiun bahan bakar Teboil milik Lukoil dilaporkan mengalami kekurangan pasokan karena bank membekukan pembayaran, mengancam sekitar seribu lapangan kerja. 

Di Irak, tiga pengiriman minyak mentah Lukoil yang dijadwalkan November dibatalkan, sementara divisi perdagangan Litasco di Swiss menghadapi hambatan logistik setelah sejumlah perusahaan asuransi dan broker menarik diri, seperti dilaporkan Reuters (7/11).

Dampak juga menjalar ke pasar energi global. Harga minyak mentah Brent sempat naik ke kisaran US$64 per barel pada akhir Oktober sebelum kembali stabil, sedangkan minyak mentah AS bertahan di atas 60 dolar AS per barel. 

Analis memperkirakan premi risiko terhadap minyak Rusia akan meningkat karena Moskwa harus menawarkan diskon lebih besar agar pembeli bersedia menanggung risiko hukum dan logistik.

“Seluruh operasi internasional Lukoil tidak dapat bergerak,” kata CEO Gunvor, Björ Törqvist, kepada Yahoo Finance, menggambarkan situasi industri yang tengah dilanda ketidakpastian.

Rosneft dan Lukoil menyumbang hampir setengah dari total produksi minyak Rusia. Penurunan pendapatan dari kedua perusahaan ini disebut berpotensi memangkas pemasukan negara hingga US$109 per tahun bila sanksi dijalankan sepenuhnya, menurut analisis Business Insider.

Meski demikian, sebagian ekonom menilai Rusia masih memiliki ruang bertahan dengan memanfaatkan jaringan pengiriman shadow fleet dan pembeli besar di Asia seperti India dan Tiongkok yang relatif lebih longgar terhadap pembatasan Barat. 

Namun efektivitas langkah itu bergantung pada seberapa ketat sanksi sekunder ditegakkan dan seberapa besar tekanan terhadap jalur ekspor Rusia dalam beberapa bulan ke depan.