![]() |
| pabrik penyulingan minyak atau fasilitas industri kimia | Unsplash/Michael Pointner |
Dominasi tujuh anak usaha hulu Pertamina dalam daftar 10 produsen minyak terbesar Indonesia menyoroti posisi unik perusahaan ini dalam menjaga fondasi energi nasional, di tengah dinamika industri energi yang berubah cepat.
Fenomena tersebut bukan sekadar deretan angka produksi, tetapi potret struktur industri migas Indonesia yang semakin bertumpu pada operator domestik di tengah laju penurunan alamiah produksi yang kian curam.
Beberapa tahun terakhir, industri hulu migas bergerak dalam lanskap yang penuh tekanan. Penurunan produksi alamiah mencapai 21–24 persen per tahun, menurut catatan berbagai laporan industri.
Dalam situasi seperti itu, mempertahankan produksi saja sudah menjadi tantangan berat, apalagi meningkatkan. Namun berdasarkan data SKK Migas per Oktober 2025, tujuh anak usaha Pertamina justru menembus jajaran elite produsen minyak nasional.
Pergeseran ini memperlihatkan bagaimana blok-blok migas besar yang sebelumnya dikelola operator asing kini jatuh ke tangan nasional, dengan Rokan dan Mahakam sebagai dua contoh paling menonjol. Perubahan operator tersebut juga menggeser struktur kontribusi produksi nasional.
Secara keseluruhan, Pertamina kini mengelola 24 persen blok migas di Indonesia tetapi menyumbang 69 persen produksi minyak dan 37 persen gas. Dominasi tersebut menegaskan bahwa ketahanan energi Indonesia, setidaknya dalam jangka menengah, bertumpu pada performa perusahaan pelat merah tersebut.
Kondisi itu tidak terjadi begitu saja. Produksi migas nasional terus menurun dalam satu dekade terakhir, dan upaya menekan laju decline membutuhkan investasi besar dan eksekusi program teknis yang konsisten.
Pertamina berada dalam posisi harus mengelola lapangan matang dengan tingkat kesulitan tinggi. Di sisi lain, target pemerintah untuk memperkuat swasembada energi menempatkan perusahaan ini di garis depan.
Dalam keterangan resminya, Vice President Corporate Communication Pertamina, Muhammad Baron, menyebut capaian kinerja produksi itu sejalan dengan Asta Cita Presiden Prabowo Subianto yang menekankan strategi pertumbuhan ganda.
“Strategi ini memaksimalkan bisnis legasi migas sekaligus mempercepat transisi menuju energi rendah karbon,” ujar Baron.
Program teknis di lapangan menjadi penopang utama. Optimalisasi sumur menggunakan teknologi Enhanced Oil Recovery, pemboran sumur baru, hingga kegiatan well intervention terus dijalankan di wilayah operasi Pertamina.
Langkah tersebut menjadi mekanisme utama untuk menahan laju penurunan produksi yang secara alamiah hampir tidak dapat dihindari. Berbagai laporan teknis menyebutkan bahwa investasi teknologi perbaikan sumur menjadi satu-satunya cara mempertahankan lifting pada lapangan yang sudah mencapai usia puluhan tahun.
Dari sisi korporasi, Subholding Upstream Pertamina, Pertamina Hulu Energi (PHE), mencatat produksi hingga Oktober 2025 sebesar 556.000 barel minyak per hari dan 2.762 juta kaki kubik gas per hari.
Angka itu menjadi dasar optimisme perusahaan untuk menambah lifting 25,5 juta barel pada November–Desember 2025. Rencana tersebut diposisikan untuk memastikan ketersediaan pasokan domestik menjelang kebutuhan tinggi periode Natal dan Tahun Baru.
Menurut laporan PHE, tambahan lifting tersebut disiapkan dari kombinasi peningkatan produksi lapangan eksisting dan percepatan beberapa kegiatan pengeboran.
Pergerakan produksi ini menghadirkan sejumlah implikasi penting. Pertama, industri migas Indonesia memasuki fase konsolidasi kekuatan nasional setelah rentang panjang bergantung pada operator asing.
Dengan bergantinya operator di Rokan, Mahakam, hingga blok-blok marginal lainnya kepada Pertamina, kontrol terhadap rantai produksi migas nasional menjadi lebih terpusat. Dalam perspektif fiskal, hal ini meningkatkan porsi penerimaan negara dari sisi bagi hasil sekaligus memberi ruang lebih besar bagi pemerintah dalam menentukan arah kebijakan energi.
Kedua, tantangan teknis lapangan matang tetap membayangi. Tingginya angka natural decline menunjukkan bahwa pertumbuhan produksi yang signifikan tanpa penemuan cadangan besar hampir tidak mungkin tercapai.
Meski demikian, keberhasilan mempertahankan produksi di angka konsolidasian 1,032 juta barel setara minyak hingga Oktober 2025 memperlihatkan efektivitas sebagian program intervensi yang dijalankan.
Sejauh ini, berdasarkan laporan-laporan teknis, biaya intervensi cenderung meningkat dan keekonomian program EOR pada lapangan tua akan sangat bergantung pada harga minyak dunia.
Di sisi lain, transisi energi menambah lapisan kompleksitas baru. Pertamina harus mengalokasikan investasi tidak hanya pada sektor hulu migas, tetapi juga pada energi rendah karbon, biofuel, dan teknologi penangkapan karbon.
Dalam banyak studi internasional, perusahaan minyak nasional di berbagai negara menghadapi tantangan serupa: mempertahankan produksi migas sambil menavigasi pergeseran global menuju energi bersih.
Dalam konteks itu, dual growth strategy yang disebutkan Baron menempatkan Pertamina pada dua jalur yang berjalan bersamaan, lapangan hulu dan energi masa depan yang masing-masing membutuhkan modal besar dan manajemen risiko ketat.
Sejumlah analis energi regional menilai bahwa dominasi Pertamina di sektor hulu memudahkan harmonisasi kebijakan jangka menengah pemerintah di bidang energi.
Namun beberapa catatan lain memperingatkan bahwa beban investasi untuk mempertahankan produksi tidak kecil, terutama karena mayoritas lapangan yang kini dikelola perusahaan telah berumur tua. Di beberapa negara produsen minyak, lapangan dengan tingkat decline serupa membutuhkan kombinasi EOR massif dan penemuan cadangan baru yang jarang muncul tanpa eksplorasi agresif.
Perkembangan di sektor hulu Pertamina juga memperlihatkan bagaimana arah industri migas nasional berkonsentrasi pada pemanfaatan sumber daya yang ada, sembari mempersiapkan langkah-langkah jangka panjang menghadapi kebutuhan energi yang terus bergerak.
Sejauh ini, laporan-laporan dari SKK Migas dan PHE menunjukkan bahwa penyumbang terbesar produksi nasional tetap berasal dari lapangan-lapangan lama yang kapasitasnya perlahan menurun. Hal tersebut menjadikan manajemen decline sebagai isu strategis, baik dari perspektif produksi maupun kebijakan energi.
Dengan komposisi produksi migas nasional yang sangat bergantung pada tujuh anak usaha ini, pergerakan mereka dalam beberapa tahun ke depan diperkirakan menjadi penentu dinamika pasokan domestik.
Pergeseran kebijakan, kondisi teknis lapangan, hingga perkembangan harga minyak internasional akan terus membentuk lanskap operasi mereka. Dalam konteks inilah, capaian produksi 2025 menjadi salah satu indikator penting dalam membaca struktur ketahanan energi Indonesia yang tengah bergerak dalam tekanan global dan tuntutan transisi energi secara bersamaan.

0Komentar