kantor Majelis Ulama Indonesia (MUI). | Istimewa

Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang melarang pemungutan pajak berulang atas rumah tinggal dan kendaraan bermotor memunculkan kekhawatiran di kalangan legislator terkait stabilitas fiskal pemerintah daerah. 

Peringatan itu disampaikan Anggota Komisi II DPR RI, Muhammad Khozin, di Jakarta, Kamis (27/11/2025), menyusul dipublikasikannya fatwa MUI yang ditegaskan pada Munas XI di Jakarta pada 20–23 November 2025. Fatwa tersebut dinilai berpotensi menggerus penerimaan pajak daerah, terutama di wilayah dengan kapasitas fiskal lemah.

Berdasarkan data Kementerian Dalam Negeri, dari 546 pemerintah daerah di Indonesia, sebanyak 493 di antaranya berada dalam kategori kapasitas fiskal lemah, terdiri atas 15 provinsi, 407 kabupaten, dan 70 kota. Pajak daerah seperti PBB Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) selama ini menjadi salah satu sumber utama pendanaan pemerintah kabupaten/kota.

Fatwa bertajuk Fatwa Pajak Berkeadilan itu menyatakan bahwa bumi dan bangunan yang dihuni tidak layak dikenai pajak berulang seperti PBB-P2. Ketua MUI Bidang Fatwa, Prof KH Asrorun Ni’am Sholeh, menjelaskan dalam penjelasan resmi bahwa ketentuan tersebut merupakan respons atas kenaikan PBB yang dinilai tidak adil dan menimbulkan keresahan. 

MUI juga menetapkan bahwa pajak penghasilan hanya dapat dikenakan pada masyarakat yang memiliki kemampuan finansial minimal setara nishab zakat mal, yakni 85 gram emas atau sekitar Rp85,68 juta per tahun sesuai SK Ketua BAZNAS RI Nomor 13 Tahun 2025.

Dalam perspektif syariah, menurut MUI, rumah termasuk kebutuhan primer (dharuriyat) yang tidak selayaknya dibebani pungutan tahunan berulang. Ketentuan itu membuat sejumlah pemangku kepentingan menilai perlunya kajian mendalam terhadap implikasi fiskalnya.

“Kalau dihapus akan berdampak serius pada fiskal di daerah,” ujar Khozin dalam keterangannya, merujuk pada peran PBB-P2 sebagai instrumen vital pendanaan daerah. Ia menambahkan bahwa semangat keadilan dalam fatwa tersebut sejalan dengan aspirasi publik, namun tetap perlu mempertimbangkan kondisi objektif kapasitas fiskal mayoritas daerah.

Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, Bimo Wijayanto, menyebut pemerintah akan melakukan tabayyun atau verifikasi menyeluruh demi menghindari polemik. Ia menegaskan bahwa PBB-P2 berada sepenuhnya dalam kewenangan pemerintah daerah. 

“Kebijakan, tarif, kenaikan dasar pengenaan, semuanya di daerah,” ucapnya saat ditemui di kompleks DPR, Senin (24/11/2025).

Di sisi lain, Wakil Menteri Dalam Negeri Bima Arya Sugiarto mengatakan Kemendagri belum membahas fatwa tersebut dan akan melakukan pengkajian internal sebelum menentukan langkah lebih lanjut. 

“Kita sepakat dengan spirit fatwa MUI tentang aspek keadilan. Meski harus diingat juga kondisi objektif daerah-daerah kita saat ini,” tutur Khozin menegaskan kembali.

Sejauh ini pemerintah pusat dan daerah masih menunggu pembahasan lanjutan untuk menilai sejauh mana ketentuan dalam fatwa MUI dapat memengaruhi ruang fiskal di daerah serta implikasinya terhadap kebijakan perpajakan yang sudah berjalan.