Kantor Otorita Ibu Kota Nusantara (OIKN), yang terletak di Kawasan Inti Pusat Pemerintahan (KIPP) IKN, Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur. | OIKN

Pemindahan aparatur sipil negara (ASN) ke Ibu Kota Nusantara (IKN) menghadapi babak baru yang lebih kompleks dibanding perencanaan awal pemerintah. Target relokasi yang ditetapkan sejak 2022 belum menunjukkan pergerakan berarti, sementara pusat pemerintahan baru terus dibentuk agar dapat berfungsi pada 2026 saat Wakil Presiden dijadwalkan mulai berkantor di sana.

Di lapangan, kesiapan infrastruktur dan dinamika struktural pemerintahan menjadi dua poros utama yang memperlambat agenda pemindahan. Pertanyaan pun mengemuka mengenai kesiapan IKN untuk benar-benar menjalankan fungsi pemerintahan, bukan sekadar menjadi proyek peresmian simbolik.

Perubahan struktur kementerian dan dampaknya

Perubahan jumlah kementerian dan lembaga menjadi variabel pertama yang mengubah seluruh rancangan teknis. Dari 34 menjadi 48 K/L, pemerintah perlu menata ulang zonasi, desain gedung, dan penempatan SDM. 

“Jumlah kementerian dulu ada 34, sekarang ada 48… kami tentunya harus melakukan pemetaan kembali supaya memudahkan OIKN nanti melakukan penempatan,” ujar Menteri PAN-RB Rini Widyantini dalam rapat kerja dengan Komisi II DPR. 

Penyesuaian itu mencakup kementerian koordinator yang sebelumnya tiga menjadi tujuh, memaksa revisi layout tower dan struktur pendukungnya.

Perubahan struktur ini membawa konsekuensi birokratis yang luas. Penambahan K/L berarti penambahan unit eselon, jabatan baru, dan kebutuhan ruangan yang lebih besar dari rancangan awal. 

Risiko tumpang tindih fungsi juga meningkat, terutama dalam pembagian tugas antar-kementerian yang belum sepenuhnya matang usai transisi pemerintahan. Kondisi tersebut berdampak langsung terhadap peta kebutuhan kantor dan kapasitas hunian ASN.

Kesiapan infrastruktur dan hunian ASN

Di sisi infrastruktur, kesiapan hunian ASN masih menjadi sorotan. Sejumlah tower hunian dilaporkan sudah selesai, namun tingkat keterisiannya rendah karena fasilitas dasar belum berjalan penuh. 

Beberapa blok dilaporkan masih mengalami stabilisasi jaringan listrik dan air bersih, sementara transportasi internal belum beroperasi rutin. 

Ketersediaan unit dibanding kebutuhan juga belum seimbang, mengingat jumlah ASN prioritas mencapai puluhan ribu. Fasilitas publik seperti klinik, pasar, dan sarana pendidikan belum siap menampung kebutuhan keluarga ASN.

Konektivitas fisik antarkedung kementerian juga dalam tahap pengembangan. Jalan utama kawasan pemerintahan masih dibangun bertahap, sistem transportasi publik seperti shuttle bus baru dioperasikan terbatas, dan rencana BRT maupun LRT belum memasuki tahap konstruksi. 

Infrastruktur digital menjadi unsur lain yang tengah diuji. Kapasitas internet dan pusat data pemerintahan perlu stabil sebelum lembaga negara memigrasikan sistem kerjanya. Sistem keamanan kawasan, dari akses gedung hingga control room terpadu, sejauh ini masih dalam integrasi.

Kondisi tersebut membuat sebagian ASN ragu pindah meski fasilitas inti mulai tampak. Kekhawatiran layanan kesehatan, pendidikan anak, serta adaptasi keluarga menjadi faktor sosial yang signifikan. 

Faktor sosial dan resistensi ASN

Dalam sejumlah diskusi internal kementerian, isu tunjangan relokasi dan biaya hidup di kawasan baru juga mencuat. Banyak ASN menilai IKN lebih tepat disebut “proyek kota” ketimbang “kota hidup,” sehingga perpindahan permanen belum terasa realistis.

Komisi II DPR menilai perpindahan ASN harus dibarengi perpindahan fungsi pemerintahan secara penuh. “Saya dengar Wakil Presiden berkeinginan tahun 2026 mulai bekerja di IKN… wamen-wamen ikutlah pindah,” kata Ketua Komisi II Rifqinizamy Karsayuda. 

Ia mengingatkan bahwa efektivitas pemerintahan baru tidak dapat berjalan bila unit-unit pendukung masih bekerja terpisah antara Jakarta dan IKN.

Dari sisi konstruksi, Kepala Otorita IKN Basuki Hadimuljono melaporkan progres fisik Istana dan kantor Wakil Presiden telah mencapai 76 persen per Oktober 2025. 

“Istana dan kantor Wapres Desember tahun ini insyaallah jadi,” ujarnya. OIKN juga memastikan tim Staf Khusus Wapres akan meninjau pembangunan untuk memastikan operasional 2026 dapat berjalan.

Namun koordinasi antarlembaga menjadi tantangan tersendiri. OIKN menangani perencanaan kawasan, PUPR menangani konstruksi, dan KemenPAN-RB bertanggung jawab pada penempatan SDM. Bila ritme koordinasi melambat, penyesuaian timeline menjadi sulit dihindari. 

Di sejumlah program percepatan, tarik-menarik kewenangan juga muncul, terutama terkait penempatan gedung kementerian yang strukturnya baru diputuskan setelah perubahan kabinet.

Relokasi ibu kota negara lain dan dampak fiskal

Fenomena ini memiliki kemiripan dengan negara-negara yang pernah memindahkan ibu kota. Malaysia membutuhkan lebih dari delapan tahun hingga kementerian benar-benar pindah penuh ke Putrajaya. Kazakhstan menghadapi resistensi ASN karena fasilitas Astana dianggap belum matang di awal perpindahan. 

Myanmar menyelesaikan infrastruktur Naypyidaw dengan cepat, tetapi fasilitas sosial tertinggal sehingga kota baru sempat kosong bertahun-tahun. Catatan tersebut menunjukkan pola yang berulang: relokasi ASN cenderung jauh lebih lambat dibanding penyelesaian gedung pemerintahan.

Dampak fiskal juga menjadi aspek yang diperhitungkan pemerintah. Penambahan K/L berpotensi menambah kebutuhan tower hunian, gedung kementerian, dan fasilitas pendukung, sementara anggaran awal dihitung berdasarkan struktur lama. Biaya relokasi ASN, termasuk transportasi, logistik, akomodasi, dan tunjangan, turut menambah kebutuhan fiskal bila pemindahan dilakukan bertahap dan tidak serempak.

Sejauh ini, pemerintah memproyeksikan fase baru relokasi pada 2026 ketika Wapres mulai berkantor di IKN. Menko dan kementerian prioritas berpotensi menyusul pada 2027, sementara target 60–70 persen ASN inti ditargetkan pada 2028. Namun berbagai kondisi teknis, sosial, dan kelembagaan dapat mengubah lintasan ini.

Dalam skema yang lebih besar, Indonesia berpotensi mengalami masa “two capitals syndrome” selama beberapa tahun. Pemerintahan bekerja di dua pusat sekaligus, koordinasi pejabat tetap terjadi di Jakarta, pengeluaran ganda muncul untuk operasional, dan fungsi pemerintah terbelah sementara waktu. 

(Fas)