Sebuah kapal berlayar di perairan dingin di dekat gletser besar atau gunung es di Samudra Arktik. | Unsplash/Annie Spratt


Mencairnya es di Arktik membuka wilayah yang selama puluhan tahun tak tersentuh. Di tengah percepatan perubahan iklim, kawasan ini muncul sebagai sumber mineral strategis yang berpotensi mengubah peta rantai pasok global. 

Greenland, yang dulu dianggap terlalu jauh dan ekstrem, kini menjadi salah satu pusat perhatian negara-negara besar yang ingin mengamankan bahan baku penting bagi teknologi masa depan.

Para analis menilai Arktik memiliki berbagai jenis bahan baku kritis yang semakin dibutuhkan dunia. Dengan jalur pelayaran yang semakin mudah dilalui akibat mencairnya es, Greenland mulai dilihat sebagai alternatif baru bagi negara-negara Barat yang ingin mengurangi bergantung pada China dalam rantai pasok mineral penting.

Dorongan terbesar datang dari Amerika Serikat, yang sejak lama ingin melepaskan diri dari dominasi China dalam produksi logam dan mineral strategis. Elemen seperti tanah jarang, germanium, dan galium menjadi perhatian utama karena berperan besar dalam pembuatan chip, radar militer, dan teknologi energi bersih. Di sisi lain, China masih menguasai produksi global germanium dan galium, dan kendati pembatasan ekspor sempat dilonggarkan, kontrolnya tetap ketat.

Sementara itu, Rusia memperkuat kehadirannya di kawasan utara dengan armada pemecah es bertenaga nuklir, menandai ambisinya mempertahankan serta memperluas pengaruh di Arktik.

Minat investasi pun meningkat. Perusahaan-perusahaan tambang melaporkan lonjakan perhatian terhadap potensi sumber daya Greenland. Beberapa perusahaan mengklaim bahwa temuan rare earth, germanium, dan galium di wilayah tersebut memiliki potensi ekonomi yang jauh lebih besar dibandingkan perkiraan awal. Bagi Amerika Serikat dan Uni Eropa, ketersediaan mineral ini dipandang sangat penting dalam menjaga stabilitas industri teknologi mereka.

Namun, jalan menuju eksploitasi sumber daya Arktik tidaklah mudah. Tantangan logistik sangat besar: pelabuhan terbatas, cuaca ekstrem, serta biaya konstruksi yang jauh lebih tinggi dibandingkan wilayah lainnya. 

Para pengamat memperkirakan bahwa dibutuhkan waktu puluhan tahun sejak pengembangan awal hingga sebuah tambang dapat benar-benar menghasilkan keuntungan.

Di Eropa, perhatian tertuju pada deposit Per Geijer di Kiruna, Swedia. Meski disebut salah satu yang terbesar di kawasan, kelayakan ekonominya belum sepenuhnya jelas. 

Bahkan perusahaan dengan infrastruktur mapan sekalipun belum yakin apakah deposit tersebut dapat dikembangkan menjadi bisnis yang menguntungkan, sehingga proyek serupa di wilayah Eropa lain dipandang memiliki tantangan yang lebih berat.

Tantangan lokal juga tak bisa diabaikan. Greenland pernah menghentikan proyek besar Kvanefjeld karena aturan larangan penambangan uranium, yang kemudian memicu sengketa antara pemerintah dan perusahaan. Bagi banyak masyarakat Inuit, kekhawatiran lingkungan, keberlanjutan, serta dampaknya pada laut dan perikanan menjadi pertimbangan yang sangat penting.

Di tingkat global, upaya Barat untuk mendiversifikasi rantai pasok mineral penting masih menemui hambatan. China tetap menguasai mayoritas produksi rare earth dan memiliki kapasitas pemurnian terbesar di dunia. Barat berupaya membangun produksi dan fasilitas pemurnian sendiri, tetapi proses itu memakan waktu dan membutuhkan investasi sangat besar.

Persaingan di Arktik kini meningkat seiring banyaknya pihak yang terlibat. Negara-negara besar memperkuat kehadiran mereka, perusahaan tambang memburu deposit baru, sementara masyarakat lokal menimbang dampak ekologisnya. 

Dengan meningkatnya kebutuhan mineral untuk teknologi maju, kawasan utara yang dulu dianggap terpencil kini menjadi pusat perhatian dunia, menunggu bagaimana persaingan kepentingan itu berkembang.