menara seluler, juga dikenal sebagai menara telepon seluler atau base transceiver station (BTS). | APLUSWIRE/Robin Santoso

Adopsi smartphone 5G di Indonesia mandek di level 35 persen pada kuartal III/2025. Laporan Counterpoint Research yang dirilis pada Oktober 2025 menyebut angka tersebut tidak berubah dibanding kuartal sebelumnya, dan hanya naik tipis 4 persen secara tahunan. Kondisi ini berlangsung di tengah cakupan jaringan 5G nasional yang baru menjangkau sekitar 10 persen populasi.

Stagnansi terjadi ketika negara tetangga seperti Malaysia telah mencapai cakupan 80 persen. Minimnya infrastruktur membuat penetrasi 5G di Indonesia belum menunjukkan percepatan berarti sepanjang 2025.

Keterbatasan infrastruktur dan spektrum

Analis menilai kondisi ini dipengaruhi terbatasnya jaringan aktif 5G serta lambatnya proses pemanfaatan spektrum. Senior Consultant dan Analis Pasar Smartphone SEQARA Communications, Aryo Meidianto Aji, menjelaskan bahwa kualitas jaringan yang belum merata membuat konsumen enggan beralih.

“Cakupan jaringan 5G masih sangat terbatas dan kurang konsisten, bahkan di kota besar,” ujarnya dalam penjelasan kepada Bisnis Indonesia.

Direktur Eksekutif Indonesia ICT Institute, Heru Sutadi, mengatakan ketersediaan spektrum frekuensi masih menjadi bottleneck. Menurut dia, pita 700 MHz belum dilelang sepenuhnya sehingga operator sulit memperluas jaringan. “Hambatan utama jelas terletak pada kesiapan jaringan yang masih minim,” tutur Heru.

Tingginya biaya investasi infrastruktur juga menahan ekspansi operator, terutama di wilayah nonperkotaan. Situasi ini membuat konsumen ragu membeli perangkat 5G karena khawatir fitur tersebut tidak dapat dimanfaatkan maksimal.

Konsumen belum rasakan manfaat 5G

Dari sisi penggunaan, teknologi 5G dinilai belum menawarkan manfaat signifikan dibanding 4G untuk kebutuhan harian. Aryo dari SEQARA menjelaskan bahwa aplikasi umum seperti media sosial dan streaming masih berjalan lancar dengan jaringan generasi sebelumnya.

“Pada kenyataannya, aplikasi sehari-hari yang digunakan pengguna sudah cukup lancar dengan 4G. Tidak ada pain point yang dipecahkan 5G bagi rata-rata pengguna,” kata Aryo.

Preferensi harga juga turut menekan adopsi 5G. Konsumen di kelas menengah memilih perangkat dengan rentang harga lebih terjangkau, serta mempertimbangkan konsumsi baterai dan selisih harga sekitar Rp200.000–Rp300.000. Survei Growth from Knowledge (GfK) menunjukkan konsumen Indonesia menempatkan durabilitas, kualitas, dan manfaat langsung sebagai faktor utama dalam pembelian perangkat.

Pasar smartphone tumbuh 12 persen

Di sisi lain, pasar smartphone Indonesia mencatat pemulihan kuat pada kuartal III/2025 dengan pertumbuhan 12 persen secara tahunan. Segmen entry-level di bawah US$150 tumbuh paling agresif, naik 42 persen dan menguasai 55 persen pangsa pasar. Sementara segmen menengah hingga premium mengalami penurunan 10–14 persen.

Counterpoint mencatat Samsung memimpin dengan pangsa 20 persen, diikuti Xiaomi 17 persen, OPPO 16 persen, vivo 14 persen, dan Infinix 12 persen. Infinix menjadi merek dengan pertumbuhan tercepat, mencapai 45 persen secara tahunan.

Pemerintah menargetkan cakupan 5G nasional mencapai 32 persen pada 2030. Namun lembaga riset menilai kolaborasi antara operator, pemerintah, dan pengguna diperlukan agar penetrasi jaringan generasi kelima dapat meningkat signifikan dalam beberapa tahun ke depan.