Laporan terbaru World Population Review menempatkan India di posisi ke-7 dunia dengan total utang nasional mencapai US$3 triliun. Beban utang per warga mencapai US$504, sementara Pakistan berada di peringkat ke-33 dengan utang US$260,8 miliar. (Bloomberg/T. Narayan)

Laporan terbaru World Population Review (WPR) menempatkan India di posisi ketujuh dalam daftar negara dengan utang terbesar di dunia pada 2025. Total utang nasional India kini mencapai US$3 triliun, atau sekitar Rp48.000 triliun (kurs Rp16.000 per dolar AS). Angka itu setara dengan beban utang US$504 per warga negara.

Sementara itu, Pakistan berada di posisi ke-33 dengan utang nasional sebesar US$260,8 miliar. Meski lebih kecil secara total, beban per kapita di negara tersebut justru lebih tinggi, yakni US$543 per warga.

Laporan WPR yang dirilis Oktober 2025 ini muncul di tengah kekhawatiran meningkatnya utang publik global, yang diperkirakan melampaui 100% dari PDB dunia pada 2029—level tertinggi sejak 1948.


AS Masih di Puncak, China dan Jepang Menguntit

Secara global, Amerika Serikat masih memimpin dengan utang US$32,9 triliun, diikuti oleh China (US$15 triliun) dan Jepang (US$10,9 triliun). Di bawahnya terdapat Britania Raya dan Prancis masing-masing dengan utang US$3,4 triliun, serta Italia (US$3,1 triliun) sebelum posisi India di peringkat ketujuh.

Berikut daftar 10 negara dengan utang nasional terbesar di dunia pada 2025 menurut World Population Review:
 

Adapun utang nasional AS kini telah menembus US$37,8 triliun per Oktober 2025, membuat setiap warga Amerika menanggung beban sekitar US$111.000. Data ini menandai kenaikan signifikan dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, seiring meningkatnya defisit dan biaya bunga utang federal.

“Utang global tumbuh lebih cepat daripada ekonomi dunia,” tulis laporan WPR. “Tren ini mengindikasikan ketergantungan yang makin besar pada pembiayaan pinjaman, bahkan untuk belanja rutin pemerintah.”

Di kawasan Asia Selatan, beban utang sangat bervariasi. Meski total utang India lebih besar, beban per kapita warga Bangladesh justru paling tinggi di kawasan, mencapai US$611 per orang. Bandingkan dengan warga India US$504 dan Pakistan US$543.

Perbedaan ini menggambarkan hubungan kompleks antara besarnya populasi dan total utang nasional. India, dengan penduduk lebih dari 1,4 miliar jiwa, mampu menekan beban per kapita meski jumlah total utangnya besar.

Namun, WPR mencatat, pemerintah India kini menghabiskan miliaran dolar setiap tahun untuk pembayaran bunga utang, sementara jutaan warganya masih kekurangan akses ke kebutuhan dasar.

“Lebih dari 3,4 miliar orang di dunia kini hidup di negara yang menghabiskan lebih banyak untuk bunga utang daripada untuk kesehatan dan pendidikan,” tulis laporan Konferensi PBB untuk Perdagangan dan Pembangunan (UNCTAD) yang dikutip bersamaan.


Defisit dan Pembayaran Bunga Jadi Sorotan

Kondisi keuangan Amerika Serikat juga menunjukkan tekanan besar. Data resmi mencatat defisit fiskal 2025 mencapai US$1,8 triliun, sementara pembayaran bunga utang melonjak ke US$970 miliar—melampaui anggaran pertahanan nasional untuk pertama kalinya.

Di sisi lain, negara-negara berkembang juga menghadapi beban serupa. Laporan UNCTAD World of Debt 2025 menyebut pembayaran bunga di negara-negara berkembang mencapai rekor US$921 miliar pada 2024, naik tajam akibat suku bunga global yang tinggi dan pelemahan nilai tukar.

“Biaya pinjaman bagi negara berkembang kini dua hingga empat kali lipat lebih tinggi dibandingkan yang dibayar Amerika Serikat,” ujar Sekretaris Jenderal UNCTAD Rebeca Grynspan dalam pernyataan resminya. “Kesenjangan ini memperburuk krisis likuiditas dan mempersempit ruang fiskal mereka untuk pembangunan.”


Kesenjangan Utang Dunia

Di ujung bawah daftar, Afghanistan tercatat memiliki utang nasional terendah di antara negara besar, yakni hanya US$1,6 miliar, atau US$30 per warga. Namun, bila dilihat dari sisi per kapita, Irlandia menjadi negara dengan beban tertinggi di dunia, mencapai US$614.000 per warga negara—lebih dari 1.000 kali lipat dibanding India.

Kesenjangan semacam ini memperlihatkan ketidakseimbangan struktur keuangan global. Negara maju bisa meminjam dengan bunga rendah, sementara negara berkembang menanggung biaya yang jauh lebih tinggi untuk jumlah pinjaman yang lebih kecil.

Laporan WPR menegaskan, jika tren ini berlanjut tanpa reformasi fiskal global, dunia akan menghadapi risiko “krisis utang baru” yang dapat mengguncang stabilitas ekonomi internasional dalam dekade mendatang.