Dalam beberapa tahun terakhir, politik di Indonesia tampak semakin mirip dunia hiburan. Tokoh-tokoh politik bukan hanya berbicara di podium atau ruang debat, tetapi juga tampil di layar ponsel lewat konten TikTok, vlog YouTube, hingga siaran langsung di Instagram.
Fenomena ini dikenal sebagai politik pop, ketika strategi komunikasi politik lebih menonjolkan popularitas dan sensasi ketimbang kebijakan substantif.
Fenomena ini mulai menguat sejak Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 dan mencapai puncaknya pada Pilpres 2024 serta menjelang Pilkada 2025, ketika hampir semua kandidat aktif “bermain konten”.
Politik pop berakar dari perubahan besar dalam cara publik mengonsumsi informasi. Media sosial seperti TikTok, Facebook, Instagram, dan X (sebelumnya Twitter) menjadi sumber utama informasi politik bagi jutaan orang, terutama generasi muda.
“Bagi Gen Z, media sosial bukan hanya tempat bersenang-senang, tapi juga ruang politik,” kata pakar komunikasi politik dari Universitas Indonesia, Ninik Dwiastuti, saat dihubungi Apluswire.com. “Masalahnya, konten yang paling menarik perhatian belum tentu yang paling bermakna.”
Para politikus kini berlomba menampilkan sisi personal mereka — entah sedang makan di warung sederhana, berinteraksi dengan warga, atau sekadar bercanda dengan tim kampanye. Tujuannya sederhana: tampil dekat dan relevan.
Namun, di balik strategi itu, muncul pertanyaan: apakah popularitas digital juga mencerminkan kapasitas kepemimpinan?
Citra Pemimpin di Era Viral
Di dunia politik yang semakin terhubung dengan algoritma, citra menjadi aset utama. Tokoh yang konsisten mengunggah konten, menjawab komentar, atau berbicara langsung lewat siaran langsung TikTok cenderung membangun keintiman emosional dengan publik.
Contohnya, Anies Baswedan sempat mencuri perhatian saat melakukan sesi live streaming dengan gaya santai dan interaktif. Ia menanggapi komentar warganet satu per satu, bahkan bercanda ringan di sela diskusi kebijakan. Langkah ini dinilai efektif menjangkau pemilih muda yang lebih menyukai interaksi langsung ketimbang pidato formal.
“Generasi muda ingin melihat pemimpin yang nyata dan bisa diajak ngobrol, bukan yang hanya muncul di baliho,” kata Nurul Hidayah, peneliti media sosial dari Lembaga Survei KedaiKopi.
Namun, popularitas di dunia maya tidak selalu sejalan dengan dukungan di bilik suara. Fenomena echo chamber, dimana ketika pengguna media sosial hanya terekspos pada pandangan yang sejalan dengan keyakinannya membuat persepsi politik bisa terdistorsi.
“Kalau seseorang viral di TikTok, itu belum tentu berarti semua orang suka atau setuju,” tambah Nurul. “Bisa jadi yang viral hanya karena algoritma menganggap itu menarik, bukan karena substansinya penting.”
Nama Dedi Mulyadi menjadi contoh menarik dalam fenomena ini. Mantan Bupati Purwakarta itu kerap disebut sebagai “Gubernur Konten” karena aktivitasnya yang intens di media sosial. Video-videonya tentang kegiatan sosial, hingga ide kontroversial seperti vasektomi sebagai syarat bantuan sosial, kerap viral dan memicu perdebatan luas.
Pada April 2025, pencarian namanya di Google melonjak tajam usai usulan tersebut beredar. Banyak yang memuji keberaniannya, tapi tidak sedikit yang menganggap langkah itu sekadar manuver mencari perhatian.
“Media sosial memang mempercepat distribusi ide, tapi juga bisa mengaburkan konteks,” ujar Arif Subekti, dosen komunikasi politik Universitas Padjadjaran. “Yang tersisa di benak publik bukan substansi kebijakan, tapi dramanya.”
Dedi sendiri dalam beberapa wawancara mengatakan bahwa ia hanya berusaha “menyampaikan pesan moral dengan cara yang mudah diterima masyarakat.” Namun, pengamat menilai bahwa pendekatan semacam itu bisa menjadi pedang bermata dua, disatu sisi bisa membangun popularitas cepat, tapi rapuh tanpa dukungan kebijakan nyata.
Dampak Politik Pop pada Demokrasi
Meningkatnya politik berbasis konten viral membawa konsekuensi besar terhadap kualitas demokrasi. Di satu sisi, media sosial membuka akses partisipasi yang lebih luas. Warga kini dapat langsung berinteraksi, memberi kritik, atau mendukung calon pemimpinnya tanpa harus datang ke rapat umum.
Namun, di sisi lain, demokrasi digital ini juga melahirkan risiko baru. Polarisasi makin tajam, disinformasi menyebar cepat, dan kampanye politik berubah menjadi ajang perang tagar.
“Politik kita sekarang bukan lagi soal siapa yang punya gagasan paling kuat, tapi siapa yang paling bisa menciptakan narasi menarik,” kata Rizky Prasetyo, peneliti dari Centre for Digital Democracy.
Ia menambahkan, algoritma media sosial secara alami “menghadiahi” konten yang memicu emosi, marah, sedih, atau terkejut. sehingga banyak politikus terdorong membuat konten dramatis, seperti sidak marah-marah atau aksi spontan di jalanan. “Viral, iya. Solutif? Belum tentu,” katanya.
Fenomena ini membuat batas antara komunikasi politik dan hiburan semakin kabur. Pemimpin yang tampil seperti influencer dianggap lebih mudah diterima publik, meskipun kadang substansi kebijakannya minim.
Bagaimana Media Sosial Mempengaruhi Pemilu
Pengaruh media sosial terhadap hasil pemilu kini tak bisa diremehkan. Laporan dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada 2024 menunjukkan bahwa lebih dari 60% pemilih muda mengaku memperoleh informasi politik pertama kali dari media sosial, bukan dari televisi atau surat kabar.
“Media sosial sudah menjadi arena utama pertarungan politik,” kata Yuniarto Wibisono, analis politik independen. “Kandidat yang tak punya strategi digital nyaris tak punya peluang.”
Selain sebagai sarana membangun citra, media sosial juga digunakan untuk menyerang lawan politik. Di X, misalnya, kelompok pendukung dan oposisi saling menyebarkan narasi tandingan untuk membentuk persepsi publik. Kampanye negatif seringkali viral lebih cepat daripada klarifikasinya.
Contoh yang sering disebut adalah serangan terhadap citra Presiden Joko Widodo menjelang masa akhir pemerintahannya. Di satu sisi, akun-akun pendukung menampilkan Jokowi sebagai sosok pekerja keras dan merakyat melalui video kunjungan ke desa atau proyek infrastruktur. Di sisi lain, akun oposisi menuduh narasi itu sebagai “pencitraan berlebihan.”
Perang narasi semacam ini menandai bahwa media sosial telah menjadi medan politik paling dinamis sekaligus paling berisiko.
Risiko di Balik Popularitas Digital
Meski efektif dalam menjangkau massa, politik berbasis konten membawa risiko besar. Narasi yang disederhanakan demi viralitas sering kali mengorbankan kedalaman kebijakan.
“Politik pop bisa membuat isu-isu serius seperti pendidikan atau ekonomi dikalahkan oleh drama sepele,” ujar Ninik Dwiastuti. “Kalau semua fokus pada siapa yang paling lucu atau paling marah, demokrasi bisa kehilangan arah.”
Risiko lainnya adalah ketergantungan pada citra digital. Banyak tokoh politik kini lebih sibuk mengelola engagement rate daripada merancang kebijakan jangka panjang. Fenomena ini disebut beberapa pengamat sebagai “politik performatif”—ketika penampilan lebih penting dari pencapaian.
Namun, ada juga sisi positifnya. Strategi digital bisa membuat politik lebih inklusif. Tokoh yang sebelumnya sulit menjangkau daerah terpencil kini bisa berinteraksi langsung lewat media sosial. Pemilih muda pun merasa punya ruang untuk bersuara.
Kuncinya, menurut Rizky Prasetyo, terletak pada keseimbangan: “Gunakan media sosial sebagai alat komunikasi, bukan panggung pencitraan. Politik harus kembali ke tujuan dasarnya: melayani publik.”
Menjelang Pilkada serentak 2025 dan pemilu berikutnya, politik pop diperkirakan tetap menjadi warna utama kampanye. Para calon kepala daerah akan terus memanfaatkan media sosial untuk membangun kedekatan dan memperluas jangkauan.
“Kalau semua fokus pada like dan share, kebijakan publik bisa kehilangan arah strategisnya,” ujar Arif Subekti. “Kita butuh pemimpin yang tidak hanya bisa bikin konten menarik, tapi juga punya visi jangka panjang.”
Di era di mana satu video bisa menentukan persepsi jutaan orang, politik tak lagi sekadar soal ide dan program. Ia juga tentang narrative control—kemampuan mengelola citra, memancing emosi, dan menembus algoritma.

0Komentar