Trump mengakhiri moratorium uji coba nuklir Amerika Serikat yang telah berlangsung sejak 1992. (AFP/Mandel Ngan)

Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengumumkan pada Rabu (29/10) bahwa ia telah memerintahkan Departemen Pertahanan (Pentagon) untuk segera memulai kembali uji coba senjata nuklir. Keputusan ini mengakhiri moratorium pengujian nuklir yang telah berlangsung selama 33 tahun, menandai perubahan besar dalam kebijakan nuklir AS sejak era pasca-Perang Dingin.

Pengumuman itu disampaikan Trump melalui platform media sosial miliknya, Truth Social, hanya beberapa jam sebelum pertemuan tatap muka dengan Presiden China Xi Jinping di Korea Selatan. Dalam unggahannya, Trump menegaskan bahwa langkah tersebut diambil untuk menandingi program senjata nuklir Rusia dan China.

“Karena program pengujian negara-negara lain, saya telah menginstruksikan Departemen Perang untuk memulai pengujian senjata nuklir kita dengan dasar yang setara,” tulis Trump. “Proses itu akan dimulai segera.”

Moratorium uji coba nuklir Amerika Serikat diberlakukan sejak 23 September 1992, setelah uji coba terakhir dengan sandi Divider di Nevada Test Site. Awalnya direncanakan hanya berlangsung sembilan bulan, moratorium itu kemudian diperpanjang tanpa batas waktu oleh Presiden Bill Clinton pada 1993 dan menjadi pilar penting dalam upaya global menekan proliferasi senjata nuklir.

Sejak saat itu, AS mengandalkan simulasi komputer dan penelitian laboratorium untuk memastikan keandalan persenjataan nuklirnya tanpa perlu melakukan ledakan uji coba. Menurut data Departemen Energi AS, negara itu telah melakukan 1.054 uji coba nuklir antara 1945 dan 1992, lebih banyak dari negara mana pun di dunia.

Langkah Trump ini datang di tengah meningkatnya ketegangan internasional terkait senjata nuklir. Sehari sebelumnya, Presiden Rusia Vladimir Putin mengumumkan bahwa Moskow telah berhasil menguji torpedo bertenaga nuklir Poseidon, senjata bawah laut yang diklaim mampu menimbulkan gelombang radioaktif besar dan menghancurkan wilayah pesisir musuh.

Putin juga menegaskan keberhasilan uji coba terbaru rudal jelajah bertenaga nuklir Burevestnik, yang disebut-sebut memiliki jangkauan hampir tak terbatas. Pernyataan itu memperkuat kekhawatiran bahwa perlombaan senjata nuklir global tengah memasuki babak baru.

Mengomentari situasi tersebut, Trump menyebut Amerika Serikat “tidak punya pilihan selain memastikan posisi unggul.”

“Rusia adalah yang kedua, dan China jauh di posisi ketiga, tetapi akan menyamai dalam lima tahun,” ujar Trump dalam unggahannya, seperti dikutip NBC News. “Kami memiliki lebih banyak senjata nuklir daripada negara lain mana pun.”

Waktu pengumuman ini menimbulkan sorotan luas karena bertepatan dengan jadwal pertemuan Trump dan Xi di sela-sela pertemuan tingkat tinggi di Korea Selatan. Ini akan menjadi pertemuan langsung pertama antara keduanya sejak Trump kembali menjabat sebagai presiden awal tahun ini.

Langkah tersebut dipandang para analis sebagai sinyal kuat bagi Beijing dan Moskow bahwa Washington siap kembali menggunakan opsi militer sebagai bagian dari kebijakan luar negerinya. Namun, sejauh ini belum ada tanggapan resmi dari China atau Rusia terkait pengumuman Trump.

Menurut laporan The New York Times dan Washington Examiner, Pentagon disebut telah menyiapkan rencana awal untuk melaksanakan uji coba di fasilitas Nevada dalam waktu dekat, meski belum ditentukan jadwal pasti pelaksanaannya.

Kebijakan baru ini berpotensi memicu ketegangan diplomatik dan menimbulkan efek domino di kancah internasional. Sejumlah pakar non-proliferasi memperingatkan bahwa dimulainya kembali uji coba nuklir AS dapat melemahkan Comprehensive Nuclear-Test-Ban Treaty (CTBT), perjanjian global yang melarang segala bentuk uji coba nuklir, meski AS sendiri belum meratifikasi perjanjian tersebut.

Meski demikian, di dalam negeri, langkah Trump kemungkinan akan mendapat dukungan dari kalangan konservatif yang selama ini menilai moratorium tersebut menghambat inovasi pertahanan nasional.

NBC News melaporkan bahwa Pentagon belum memberikan pernyataan resmi selain menegaskan bahwa pihaknya “akan melaksanakan arahan presiden sesuai mandat konstitusional.”

Langkah ini sekaligus menandai kembalinya Amerika Serikat ke kebijakan nuklir yang lebih agresif, di tengah kompetisi militer global yang kembali memanas antara kekuatan besar dunia.