Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa memicu perhatian publik setelah membandingkan laju pertumbuhan ekonomi pada masa pemerintahan Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dengan Presiden ke-7 RI Joko Widodo (Jokowi).
Purbaya menilai pertumbuhan ekonomi pada era SBY mampu mencetak angka 6% meski pembangunannya tak seagresif pemerintahan Jokowi. Sementara pada era Jokowi, pertumbuhan ekonomi rata-rata 5%.
Meski pemerintahan SBY lebih santai dalam pembangunan, ekonomi justru tumbuh lebih tinggi dibanding era Jokowi yang sibuk membangun infrastruktur.
“Saya kasih tahu ke Pak Jokowi waktu itu, kenapa Pak SBY tidur saja pertumbuhan 6%? Tapi Bapak (Jokowi) bangun infrastruktur di mana-mana, pertumbuhan cuma 5%,” kata Purbaya di Jakarta dalam kegiatan bertajuk “1 tahun Prabowo-Gibran: Optimism 8% Economic Growth” di Jakarta, Kamis (16/10).
Ia menjelaskan bahwa sektor swasta lebih hidup di masa pemerintahan SBY, sementara di era Jokowi, ekonomi banyak ditopang oleh belanja pemerintah.
Menurut Purbaya, kondisi itu membuat perekonomian Indonesia dalam dua dekade terakhir berjalan “pincang” karena pertumbuhan yang didorong pemerintah tidak diikuti geliat sektor privat.
“Di zaman Pak Jokowi, sektor privat tidak tumbuh karena terhambat, sementara sektor pemerintah tetap jalan,” ujarnya.
Pernyataan tersebut muncul di tengah evaluasi publik terhadap kinerja ekonomi nasional menjelang tahun pertama pemerintahan baru Prabowo–Gibran.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal II 2025 mencapai 5,12%, relatif stabil dibanding beberapa tahun terakhir yang rata-rata berada di kisaran 5%.
Sebaliknya, pada masa kepemimpinan SBY (2004–2014), pertumbuhan ekonomi sempat mencapai rata-rata 6% per tahun, terutama pada periode commodity boom 2007–2012.
Kala itu, harga komoditas ekspor utama seperti batu bara, minyak sawit, dan karet tengah melonjak, sehingga menopang ekspor dan investasi swasta. Namun, kondisi global berbeda pada era Jokowi. Ketika ia mulai menjabat pada 2014, ekonomi dunia melambat, harga komoditas jatuh, dan pandemi COVID-19 menekan pertumbuhan.
Pemerintah kemudian memilih strategi pembangunan infrastruktur besar-besaran sebagai penggerak ekonomi jangka panjang, termasuk jalan tol, pelabuhan, dan bandara baru di berbagai daerah.
Pernyataan Purbaya sontak menuai beragam tanggapan dari kalangan ekonom dan pengamat. Ekonom Universitas Indonesia, Fithra Faisal, mengatakan perbandingan dua era pemerintahan perlu dilihat dalam konteks global yang berbeda.
“Era SBY itu masa keemasan komoditas, sedangkan Jokowi berhadapan dengan pelemahan ekonomi dunia dan pandemi. Jadi tidak bisa semata-mata dibandingkan dari angka pertumbuhan,” ujar Fithra saat dihubungi, Jumat (17/10).
Sementara itu, pengamat kebijakan publik Bhima Yudhistira menilai pernyataan Purbaya menyoroti masalah klasik yaitu dominasi belanja pemerintah dalam pertumbuhan.
“Kalau investasi swasta lesu, pertumbuhan pasti stagnan. Tapi pembangunan infrastruktur di era Jokowi punya efek jangka panjang yang mungkin baru terlihat setelah 2025,” katanya.
Dari sisi pemerintah, Kementerian Keuangan belum memberikan tanggapan resmi terhadap pernyataan tersebut. Namun sumber di internal kementerian menyebutkan bahwa pernyataan Purbaya disampaikan dalam konteks diskusi informal tentang arah kebijakan ekonomi pemerintahan baru.
Berdasarkan data BPS, rata-rata pertumbuhan ekonomi Indonesia sepanjang 2005–2014 (era SBY) mencapai 5,8%. Sementara pada periode 2015–2023 (era Jokowi), rata-rata pertumbuhan berada di sekitar 5%, termasuk tahun-tahun ketika pandemi menekan ekonomi hingga minus 2,1% pada 2020.
Meski pertumbuhannya lebih rendah, era Jokowi ditandai dengan peningkatan belanja infrastruktur dari sekitar Rp150 triliun pada 2015 menjadi lebih dari Rp400 triliun pada 2024.
Sejumlah ekonom juga mencatat bahwa kontribusi investasi swasta terhadap PDB sempat melambat di periode 2019–2023, sedangkan peran belanja pemerintah dan konsumsi rumah tangga menjadi penopang utama pertumbuhan.
“Kunci ke depan adalah bagaimana membangkitkan kembali sektor swasta agar bisa berkontribusi lebih besar,” ujar Fithra.

0Komentar