![]() |
| Gubernur Riau Abdul Wahid mengungkapkan provinsinya hanya menerima satu dolar per bulan dari hasil minyak dan gas bumi, meski menjadi penghasil migas terbesar di Indonesia. (AFP) |
Gubernur Riau Abdul Wahid mengungkapkan bahwa provinsinya hanya menerima sekitar satu dolar per bulan dari hasil pengelolaan minyak dan gas bumi, meski Riau dikenal sebagai salah satu penghasil migas terbesar di Indonesia.
Pernyataan itu disampaikan Wahid dalam pertemuan strategis dengan jajaran Pertamina Hulu Rokan (PHR) dan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas (SKK Migas) di Jakarta, Jumat (17/10/2025).
“Kalau Riau hanya dapat satu dolar per bulan, bagaimana kami bisa menutup defisit dan membangun daerah ini?” ujar Wahid di hadapan Direktur Utama PHR Ruby Mulyawan dan Kepala SKK Migas Perwakilan Sumatera Bagian Utara CW Wicaksono.
Ungkapan itu menggambarkan kekecewaan pemerintah daerah terhadap skema bagi hasil migas yang dinilai belum berpihak kepada daerah penghasil.
Riau selama ini menyumbang sekitar 26–30 persen produksi minyak nasional, dengan volume mencapai sekitar 200 ribu barel per hari. Meski demikian, penerimaan daerah dari Dana Bagi Hasil (DBH) Migas terus menurun dalam tiga tahun terakhir.
Berdasarkan data pemerintah, Pemprov Riau akan menerima DBH Migas sebesar Rp342,4 miliar pada 2025, turun tajam dari Rp2,3 triliun pada 2024 dan Rp3,2 triliun pada 2023.
Sementara itu, total DBH Migas untuk kabupaten dan kota di Riau mencapai Rp2,63 triliun. Kabupaten Bengkalis menjadi penerima terbesar dengan porsi Rp637,2 miliar, diikuti Kabupaten Siak dan Kota Dumai yang juga menjadi daerah penghasil utama.
Penurunan ini memicu kekhawatiran pemerintah daerah terhadap kemampuan fiskal mereka untuk menjaga pertumbuhan ekonomi dan menutup kebutuhan infrastruktur dasar.
Dalam pertemuan tersebut, Wahid menyoroti perlunya pembenahan tata kelola sektor migas, terutama dalam hal transparansi dan partisipasi daerah.
Ia menegaskan bahwa kontribusi perusahaan migas seharusnya tidak hanya berhenti pada angka produksi nasional, tetapi juga berdampak langsung pada kesejahteraan masyarakat setempat.
“Setiap tetes minyak dari tanah Riau seharusnya mengalir kembali dalam bentuk kesejahteraan bagi masyarakat Riau,” kata Wahid.
Ia juga mendorong agar kontraktor lokal diberi ruang lebih besar dalam rantai pasok industri migas, termasuk dalam proyek-proyek eksplorasi dan pengembangan lapangan baru.
Menanggapi hal tersebut, Direktur Utama Pertamina Hulu Rokan Ruby Mulyawan menyampaikan bahwa pihaknya terus berkoordinasi dengan SKK Migas dan pemerintah daerah untuk memastikan kontribusi PHR terhadap perekonomian lokal tetap optimal.
Ia menyebut, selama 2025, PHR telah menyalurkan lebih dari Rp400 miliar untuk program tanggung jawab sosial dan kemitraan dengan pelaku usaha daerah.
“Kami memahami aspirasi pemerintah daerah dan terus berupaya agar manfaat kegiatan hulu migas bisa lebih terasa bagi masyarakat,” ujar Ruby.
Sementara itu, Kepala SKK Migas Perwakilan Sumatera Bagian Utara CW Wicaksono menjelaskan bahwa pembagian DBH migas mengikuti ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah.
Menurutnya, SKK Migas hanya menjalankan mandat operasional, sementara kebijakan pembagian dana ditetapkan oleh pemerintah pusat.
“Kami memahami keinginan daerah untuk memperoleh porsi lebih besar, namun mekanisme DBH ditentukan oleh formula nasional yang mengacu pada volume lifting, harga minyak, dan faktor-faktor fiskal lainnya,” kata Wicaksono.
Pertemuan tersebut dihadiri juga oleh Sekretaris Daerah Riau Syarial Abdi, perwakilan SKK Migas, serta sejumlah pejabat terkait. Diskusi berlangsung sekitar dua jam dengan fokus pada upaya memperkuat kolaborasi antara pemerintah daerah, BUMN, dan lembaga pengelola migas.
Riau, yang sejak era 1950-an menjadi pusat eksploitasi minyak Indonesia, kini tengah menghadapi tantangan besar akibat menurunnya penerimaan daerah dari sektor energi.
Pemerintah provinsi menilai perlu ada penyesuaian skema pembagian hasil agar sejalan dengan kontribusi dan kebutuhan pembangunan di wilayah penghasil.
Baik SKK Migas maupun Pertamina Hulu Rokan menyatakan siap melanjutkan dialog dan mencari solusi bersama untuk memastikan kegiatan hulu migas tetap berkelanjutan sekaligus memberi dampak ekonomi yang lebih merata bagi daerah.

0Komentar