![]() |
| Foto: Jalan Jenderal Sudirman, salah satu jalan protokol utama di Jakarta, yang menjadi pusat aktivitas bisnis dan transportasi ibu kota. (Apluswire/Alia Farah) |
Pertumbuhan ekonomi Indonesia kembali menunjukkan ketahanan luar biasa. Pada kuartal II 2025, Produk Domestik Bruto (PDB) tumbuh 5,12 persen (yoy), angka yang menegaskan bahwa ekonomi nasional tetap stabil di tengah ketidakpastian global. Namun di balik angka yang tampak meyakinkan itu, muncul lagi pertanyaan lama tentang apakah pertumbuhan ini benar-benar meningkatkan kesejahteraan?
Selama lima tahun terakhir, Indonesia berhasil menjaga laju pertumbuhan di kisaran 5 persen. PDB per kapita tahun 2024 tercatat Rp78,6 juta (sekitar USD 4.960), menempatkan Indonesia di kelompok negara berpendapatan menengah-atas. Inflasi juga terkendali di 2,65 persen (September 2025).
Namun di sisi lain, Rasio Gini nasional Maret 2025 masih di level 0,375, hanya turun tipis dari 0,381 enam bulan sebelumnya. Di perkotaan, ketimpangan bahkan lebih tajam (0,395) dibanding di perdesaan (0,299). Dengan kata lain, sebagian besar masyarakat mungkin belum merasakan manfaat dari pertumbuhan yang stabil itu.
Pulau Jawa masih menjadi pusat gravitasi ekonomi nasional, menyumbang 56,94 persen PDB. Sementara wilayah lain, seperti Sumatera, Nusa Tenggara, hingga Papua, tertinggal dengan kontribusi kecil dan infrastruktur yang belum memadai. Ini menegaskan bahwa pertumbuhan Indonesia masih sangat “Jawa-sentris.”
Masalah lainnya terletak pada struktur ekonomi. Pertumbuhan banyak digerakkan oleh sektor padat modal, seperti industri pengolahan dan smelter, yang secara produktif mendorong PDB namun minim menciptakan lapangan kerja.
Di Bangka Belitung, misalnya, meski industri smelter tumbuh pesat, 62 persen tenaga kerja masih berada di sektor non-formal seperti pertanian dan perdagangan kecil. Pertumbuhan jenis ini memperlebar jurang antara pekerja formal bergaji tinggi dan pekerja informal yang rentan.
Padahal, Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) sudah turun ke 4,76 persen (Februari 2025) dan ada tambahan 3,59 juta lapangan kerja baru. Tapi sebagian besar pekerjaan baru itu bersifat informal, upahnya rendah, dan tidak memiliki perlindungan sosial yang layak.
Produktivitas tenaga kerja memang meningkat sejak 2020, tapi dibandingkan rata-rata ASEAN, posisi Indonesia masih di bawah. Pemerintah mencoba menjawab tantangan ini lewat Rencana Induk Produktivitas Nasional 2025–2029, yang bertujuan mempercepat peningkatan kompetensi tenaga kerja dan efisiensi sektor-sektor utama.
Dalam kebijakan fiskal, pemerintah juga menghadapi dilema klasik. Subsidi energi yang mencapai Rp203,41 triliun (2025) dimaksudkan untuk menjaga daya beli masyarakat, terutama kalangan berpenghasilan rendah.
Namun efektivitasnya masih dipertanyakan. Banyak studi menunjukkan bahwa subsidi BBM dan LPG 3 kg lebih banyak dinikmati kelompok menengah ke atas dibanding kelompok miskin yang justru menjadi alasan awal kebijakan ini dibuat.
Paradoksnya, anggaran besar itu bisa saja dialihkan untuk memperkuat infrastruktur sosial seperti pendidikan dan kesehatan, dua sektor yang berperan langsung dalam menciptakan pertumbuhan yang berkualitas dan inklusif.
Di sisi lain, kenaikan Nilai Tukar Petani (NTP) hingga 124,36 pada September 2025 memberi sedikit harapan. Angka ini menandakan peningkatan daya beli petani, meski sektor pertanian secara umum masih tertinggal dalam hal produktivitas akibat rendahnya adopsi teknologi dan kualitas pendidikan tenaga kerja.
Bank Indonesia menekankan pentingnya reformasi struktural untuk memastikan pertumbuhan disertai penciptaan pekerjaan yang produktif dan merata. Sementara INDEF menilai pertumbuhan Indonesia masih "kosmetik" karena kualitas lapangan kerja yang tercipta belum layak untuk menopang kesejahteraan jangka panjang.
Jika dibandingkan dengan negara tetangga, PDB per kapita Indonesia (USD 5.270) masih tertinggal jauh dari Malaysia (USD 13.310) dan Thailand (USD 7.810), bahkan mulai didekati Vietnam (USD 4.620).
Untuk melihat seberapa efektif pertumbuhan ekonomi Indonesia dibanding negara-negara ASEAN lainnya, berikut perbandingan PDB per kapita di kawasan.
Artinya, pertumbuhan ekonomi Indonesia masih menghadapi tantangan dalam meningkatkan pendapatan per kapita secara setara dengan negara-negara ASEAN yang lebih maju.
Pertumbuhan ekonomi memang fondasi penting, tetapi angka makro bukanlah tujuan akhir. Indonesia membutuhkan kualitas pertumbuhan yang lebih baik, yakni, sektor padat karya yang kuat, distribusi ekonomi yang merata, serta kebijakan yang tepat sasaran. Pemerintah perlu menggeser fokus, bukan lagi semata mengejar angka PDB, melainkan memastikan setiap pertumbuhan berarti kesejahteraan nyata.

0Komentar