![]() |
| Kekhawatiran terhadap ancaman keamanan siber membuat sektor perbankan Indonesia masih ragu mengadopsi kecerdasan buatan (AI). (Getty Images) |
Kekhawatiran terhadap ancaman keamanan siber menjadi penghambat utama transformasi digital dan penerapan kecerdasan buatan (AI) di sektor perbankan Indonesia. Hal ini terungkap dalam survei terbaru HSBC bertajuk Redefining Treasury in Asia Pacific: Voices of Treasury 2025 yang dirilis pada Jumat (18/10).
Dalam laporan tersebut, sebanyak 48 persen treasurer di Indonesia menilai risiko keamanan siber sebagai tantangan terbesar dalam mencapai sistem real-time treasury—angka tertinggi dibandingkan tujuh negara Asia Pasifik lainnya.
Survei ini melibatkan lebih dari 460 profesional keuangan dan perbendaharaan di delapan pasar utama kawasan, termasuk Singapura, Hong Kong, Malaysia, dan Korea Selatan.
Meski manfaat otomatisasi dan AI di bidang keuangan diakui dapat meningkatkan efisiensi dan pengambilan keputusan, banyak perusahaan masih ragu mengadopsinya karena risiko kebocoran data.
“AI bisa membantu menganalisis arus kas, memprediksi pola pembayaran, dan memberi rekomendasi investasi. Tapi banyak perusahaan masih enggan karena risiko kebocoran data dan integritas informasi,” kata Anne Suhandojo, Head of Global Payments Solutions HSBC Indonesia, dalam keterangan tertulis.
Teknologi AI dinilai mampu meningkatkan akurasi prediksi, mendeteksi penipuan, dan mengidentifikasi pola transaksi abnormal. Namun, penerapan teknologi ini memerlukan sistem keamanan yang kuat agar tidak menimbulkan kerentanan baru.
Berdasarkan survei yang sama, hanya 8 persen responden menilai AI “sangat berguna” saat ini. Meski begitu, lebih dari separuh memperkirakan teknologi ini akan berperan besar dalam tiga tahun ke depan.
Selain persoalan keamanan siber, adopsi real-time treasury juga terbentur infrastruktur dan sumber daya manusia. Anne menjelaskan bahwa banyak perusahaan di Indonesia masih mengandalkan proses manual berbasis kertas dan spreadsheet.
“Untuk bisa masuk ke tahap real-time treasury, semuanya harus terdigitalisasi terlebih dahulu,” ujarnya.
HSBC mencatat, 34 persen responden menyebut keterbatasan anggaran sistem sebagai hambatan utama, disusul kurangnya tenaga ahli implementasi teknologi sebesar 31 persen. Hal ini berbeda dengan kondisi di Singapura dan Hong Kong, di mana transaksi, rekonsiliasi, dan pembayaran telah sepenuhnya otomatis.
Di sisi lain, Bank Indonesia sebenarnya sudah menyediakan infrastruktur pendukung seperti BI-FAST dan QRIS untuk mempercepat digitalisasi pembayaran nasional. Namun, kehadiran infrastruktur saja belum cukup tanpa kesiapan industri dalam mengelola risiko siber yang semakin kompleks.
Direktur Eksekutif Departemen Sistem Pembayaran BI, Filianingsih Hendarta, sebelumnya menyebut penguatan keamanan siber menjadi prioritas utama dalam roadmap sistem pembayaran Indonesia 2025.
“Digitalisasi harus sejalan dengan ketahanan siber. Tanpa itu, inovasi justru bisa menjadi sumber risiko baru,” ujarnya dalam sebuah forum keuangan di Jakarta awal bulan ini.
Survei HSBC menilai, langkah menuju sistem keuangan yang sepenuhnya digital memerlukan kepercayaan antara lembaga keuangan, regulator, dan pelaku industri.
Dengan meningkatnya penggunaan data lintas platform, ancaman terhadap privasi dan integritas informasi menjadi perhatian utama para pengambil keputusan di sektor keuangan.
Meskipun demikian, tren global menunjukkan bahwa perusahaan yang lebih dulu mengintegrasikan teknologi AI dalam sistem keuangan berhasil meningkatkan efisiensi hingga 20 persen dalam pengelolaan kas dan risiko.
Namun bagi Indonesia, keseimbangan antara inovasi dan keamanan masih menjadi pekerjaan besar sebelum manfaat penuh dari AI dapat dirasakan di sektor perbankan.

0Komentar