Presiden Rusia Vladimir Putin. (Wikimedia Commons/Kremlin.ru)

Badan intelijen Amerika Serikat (AS) menilai Presiden Rusia Vladimir Putin kini lebih teguh dari sebelumnya dalam mengejar kemenangan di Ukraina. Penilaian rahasia itu, yang disampaikan ke anggota Kongres pada Oktober ini, menyebut Putin tak menunjukkan tanda-tanda siap berkompromi, meski upaya perdamaian terus diupayakan Presiden Donald Trump.

Menurut dua pejabat senior AS dan satu pimpinan Kongres yang mengetahui laporan tersebut, Putin disebut semakin “kukuh” dalam komitmennya memperluas kendali Rusia atas wilayah Ukraina. 

Langkah itu menunjukkan sikap paling tegas sejak perang pecah pada Februari 2022. Sejumlah sumber menyebut Putin tampak bersedia menanggung biaya manusia dan ekonomi yang besar demi mengamankan wilayah tambahan di Ukraina.

Temuan intelijen itu memicu langkah paling keras Trump terhadap Moskwa sejak ia kembali menjabat pada Januari lalu. Pada 22 Oktober 2025, Gedung Putih mengumumkan sanksi menyeluruh terhadap dua raksasa energi Rusia, yaitu Rosneft dan Lukoil beserta puluhan anak perusahaannya.

Langkah ini menjadi paket sanksi pertama pemerintahan Trump terhadap Rusia. Departemen Keuangan AS menyebut kebijakan tersebut sebagai tekanan langsung terhadap ekonomi Kremlin yang selama ini menopang pembiayaan perang.

“Sekarang adalah waktunya untuk menghentikan pembunuhan dan untuk gencatan senjata segera,” ujar Menteri Keuangan AS, Scott Bessent, dalam pernyataannya, seperti dikutip dari laman resmi Departemen Keuangan AS (22/10). Ia menyebut sanksi itu sebagai respons atas “penolakan Presiden Putin untuk mengakhiri perang tidak masuk akal ini.”

Sanksi tersebut membekukan seluruh aset Rosneft dan Lukoil yang berada di wilayah hukum AS, sekaligus melarang warga Amerika melakukan transaksi atau bisnis dengan perusahaan tersebut.

Tak hanya itu, Trump juga membatalkan pertemuan puncak (KTT) yang semula dijadwalkan digelar di Budapest, Hungaria. KTT itu awalnya dirancang untuk mempertemukan Trump dan Putin dalam pembahasan langsung soal gencatan senjata.

“Setiap kali saya berbicara dengan Vladimir, pembicaraan kami baik, tapi hasilnya nihil. Tidak ada kemajuan apa pun,” kata Trump kepada wartawan di Gedung Putih, dikutip dari Reuters (22/10).

Rusia tetap teguh pada tuntutan maksimalis

Meski tekanan internasional meningkat, Rusia tetap mempertahankan posisi kerasnya. Dalam negosiasi yang sempat berlangsung sebelum pembatalan KTT Budapest, Putin dilaporkan menuntut agar Ukraina menyerahkan kendali penuh atas wilayah Donetsk sebagai syarat gencatan senjata.

Menurut laporan The Washington Post (18/10), Putin menolak usulan Trump untuk membekukan pertempuran di garis depan saat ini. Menteri Luar Negeri Rusia, Sergei Lavrov, bahkan menyebut usulan itu “tidak dapat diterima oleh Moskwa.”

Sementara itu, Kirill Dmitriev, kepala Dana Investasi Langsung Rusia (RDIF) yang juga dikenal sebagai utusan investasi Putin, tiba di Washington akhir pekan lalu untuk melakukan pembicaraan darurat dengan pejabat pemerintahan Trump. Namun, langkah diplomatik itu tak berjalan mulus.

Dalam pernyataan publik, Bessent menyebut Dmitriev sebagai “propagandis Rusia” setelah sang utusan mengklaim bahwa sanksi AS tidak akan berdampak pada ekonomi Rusia, seperti dilaporkan The Kyiv Independent.

Kunjungan Dmitriev sempat menjadi perhatian karena dilakukan hanya beberapa hari setelah sanksi besar diumumkan. CNN melaporkan bahwa misi tersebut awalnya dimaksudkan untuk “menyelamatkan ruang dialog ekonomi,” namun berubah menjadi adu pernyataan di depan publik antara kedua pihak.

Putin dinilai tak akan mundur

Laporan intelijen AS menilai bahwa Putin kini lebih siap membenarkan besarnya korban perang dan tekanan ekonomi dalam negeri untuk mencapai tujuannya. 

Data yang dikutip NBC News menunjukkan bahwa konflik telah menewaskan sekitar 250.000 tentara Rusia dan menekan ekonomi negara itu akibat sanksi Barat yang terus menumpuk.

“Putin melihat perang ini sebagai bagian dari warisan sejarahnya,” kata seorang pejabat keamanan nasional AS kepada Foreign Policy (28/10). “Ia tampak lebih memilih mempertaruhkan segalanya daripada terlihat mundur.”

Pandangan itu sejalan dengan laporan Pravda Ukraina dan Ukraine Today yang menyebut tak ada tanda-tanda kesiapan Rusia untuk gencatan senjata atau kompromi politik. Sebaliknya, intelijen Barat memperkirakan Moskwa akan terus berusaha memperluas pengaruhnya di Ukraina bagian timur dan selatan dalam beberapa bulan ke depan.

Tantangan untuk janji perdamaian Trump

Kebuntuan ini menjadi ujian besar bagi Trump, yang selama kampanye berulang kali berjanji dapat “mengakhiri perang Ukraina dalam 24 jam” lewat diplomasi langsung dengan Putin. Namun, upaya gencatan senjata justru berujung pada sanksi ekonomi dan pembatalan pertemuan tingkat tinggi.

Para analis menilai langkah Trump menunjukkan perubahan signifikan dalam kebijakan luar negeri Washington, dari pendekatan dialog menuju tekanan ekonomi penuh.

Sejumlah pengamat menilai strategi itu mungkin belum cukup untuk mengubah kalkulasi Kremlin dalam waktu dekat, mengingat Putin kini semakin menautkan perang Ukraina dengan legitimasi politiknya di dalam negeri.