G20 berjanji memberikan keringanan utang bagi negara berkembang, tetapi banyak negara masih menghadapi beban utang yang berat. Simak rincian komitmen dan tantangan yang dihadapi. (Getty Images)

Kelompok Dua Puluh (G20) Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral menutup pertemuan di Washington, Kamis (17/10), dengan komitmen baru untuk mengatasi meningkatnya kerentanan utang di negara-negara berkembang. Namun, langkah tersebut menuai kritik dari kalangan aktivis dan ekonom yang menilai komitmen itu belum cukup untuk meredam krisis utang global yang disebut sebagai yang terburuk dalam sejarah modern.

Dalam deklarasi bersama yang dirilis seusai pertemuan, para pejabat G20 menegaskan kembali dukungan terhadap Common Framework for Debt Treatment atau Kerangka Kerja Bersama untuk Penanganan Utang. 

Dokumen itu menyoroti kekhawatiran atas beban utang tinggi yang menekan banyak negara berpendapatan rendah dan menengah, terutama akibat biaya pinjaman yang melonjak tajam sejak pandemi COVID-19.

Menurut data yang dimuat dalam deklarasi, negara-negara berkembang menghabiskan rekor US$921 miliar hanya untuk pembayaran bunga pada tahun 2024, meningkat sekitar 10 persen dari tahun sebelumnya. 

Setidaknya 61 negara kini mengalokasikan lebih dari 10 persen pendapatan pemerintahnya untuk melayani utang, dua kali lipat dibandingkan satu dekade lalu.

“Kami mengakui bahwa tingkat utang yang tinggi merupakan salah satu hambatan terhadap pertumbuhan inklusif di banyak ekonomi berkembang, yang membatasi kemampuan mereka untuk berinvestasi dalam infrastruktur, ketahanan bencana, layanan kesehatan, pendidikan, dan kebutuhan pembangunan lainnya,” tulis pernyataan resmi G20.

Meski begitu, para menteri keuangan G20 menyatakan bahwa risiko sistemik dari krisis utang global tampaknya secara luas sudah terkendali. Pernyataan tersebut dianggap tidak sejalan dengan kenyataan di lapangan oleh sejumlah pengamat.

Eric LeCompte, Direktur Eksekutif Jubilee USA Network, mengatakan situasinya jauh lebih genting. 

“Negara-negara tidak bisa meminjam untuk keluar dari krisis ini. Saat ini sekitar 4 miliar orang hidup di negara-negara yang menghabiskan lebih banyak untuk membayar bunga utang dibandingkan untuk kesehatan dan pendidikan secara gabungan,” ujarnya dikutip Reuters.

Deklarasi G20 juga menyoroti pentingnya memperkuat penerapan Kerangka Kerja Bersama di luar Debt Service Suspension Initiative (DSSI), dengan pendekatan yang lebih prediktif, tepat waktu, dan terkoordinasi.

Duncan Pieterse, Direktur Jenderal Kebijakan Ekonomi Internasional Kementerian Keuangan Afrika Selatan, menyebut ada kemajuan dalam proses restrukturisasi utang di beberapa negara. 

“Kami telah melihat penyelesaian yang lebih cepat dibandingkan kasus-kasus sebelumnya seperti Chad. Tapi tentu saja, masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan,” ujarnya dalam konferensi pers usai pertemuan.

Selain itu, G20 juga membuka ruang bagi instrumen pembiayaan inovatif seperti debt-for-development swap dan debt-for-climate swap, yang memungkinkan negara debitur menukar sebagian kewajiban pembayaran utangnya menjadi investasi dalam proyek sosial atau lingkungan.

Namun, langkah ini tetap dinilai belum menyentuh akar masalah oleh para aktivis keringanan utang. Iolanda Fresnillo dari European Network on Debt and Development menilai deklarasi tersebut tidak memadai dan kurang ambisius. 

“Tidak ada inisiatif baru yang konkret, padahal situasi sudah sangat mendesak,” katanya dikutip Bloomberg.

Pertemuan ini sekaligus menjadi yang terakhir di bawah kepresidenan G20 Afrika Selatan. Pemerintah Pretoria sejak awal menekankan pentingnya memperkuat suara negara peminjam dalam pembahasan utang global—isu yang juga disepakati oleh para pejabat untuk terus ditindaklanjuti pada presidensi G20 berikutnya.