![]() |
| Aksi mahasiswa saat Ramadan 1966 dengan tuntutan Tritura mengguncang politik Indonesia, menggoyang kekuasaan Soekarno dan melahirkan Orde Baru. (geheugen.ddelpher.nl) |
Ribuan mahasiswa turun ke jalan di Jakarta pada Januari 1966, tepat di bulan puasa, membawa tuntutan yang kemudian dikenal dengan nama Tritura atau Tiga Tuntutan Rakyat. Aksi tersebut memicu perubahan besar dalam arah politik Indonesia, yang akhirnya menggoyang kekuasaan Presiden Soekarno dan melahirkan babak baru pemerintahan Orde Baru.
Demo mahasiswa itu berlangsung pada 10 Januari 1966. Di tengah suasana bulan Ramadan, mahasiswa berkumpul di sekitar Gedung Sekretariat Negara, Jakarta, sembari berpuasa.
Mereka menyuarakan tiga tuntutan pokok yaitu pembubaran PKI, perombakan kabinet Dwikora, dan turunkan harga-harga yang saat itu melambung.
Aksi ini muncul setelah meletusnya peristiwa 30 September 1965 dan operasi militer terhadap PKI. Situasi politik nasional kala itu tidak stabil. Kenaikan harga barang pokok membuat kondisi ekonomi semakin berat, termasuk bagi mahasiswa yang saat itu sebagian besar hidup sederhana.
“Walaupun kami berpuasa, semangat di lapangan tetap membara. Yang ada dalam pikiran kami hanya bagaimana memperjuangkan tuntutan rakyat,” kenang Cosmas Batubara, salah satu tokoh Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI), dalam wawancara beberapa tahun lalu.
Jalan panjang menuju perubahan
Gelombang demonstrasi mahasiswa tidak berhenti di satu hari itu saja. Setelah Tritura, aksi-aksi lanjutan terus bergulir di Jakarta maupun kota lain. Mahasiswa membentuk berbagai kesatuan aksi, seperti KAMI, KAPPI (Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia), dan KAPI (Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia).
Mereka menekan pemerintah dengan cara berulang kali menggelar aksi di jalan raya, gedung DPR-GR, hingga kantor-kantor kementerian. Salah satu tuntutan paling keras adalah meminta Presiden Soekarno merombak kabinet Dwikora yang dianggap tidak mampu mengatasi krisis.
Menurut sejarawan Asvi Warman Adam, Tritura menjadi simbol perlawanan sipil terhadap kebijakan negara yang dianggap gagal.
“Gerakan mahasiswa itu lahir dari situasi nyata, ketika harga barang naik drastis dan kepercayaan terhadap pemerintah menurun,” kata Asvi dalam sebuah diskusi sejarah di Jakarta.
Pemerintah merespons tuntutan mahasiswa dengan beragam cara. Presiden Soekarno sempat menyebut mahasiswa “ekstrem kanan” yang dimanfaatkan oleh pihak tertentu. Namun tekanan publik semakin kuat, ditambah sikap tentara yang kala itu semakin berpengaruh dalam percaturan politik.
Di sisi lain, aparat keamanan sering kali membubarkan demonstrasi dengan gas air mata atau pentungan. Beberapa mahasiswa bahkan menjadi korban bentrokan.
Pada Februari 1966, mahasiswa Arief Rachman Hakim tewas tertembak dalam aksi di depan Istana Merdeka. Peristiwa itu semakin memperkuat solidaritas mahasiswa.
“Arief menjadi martir gerakan mahasiswa. Setelah itu, aksi kami makin besar karena rakyat juga ikut simpati,” ujar Savitri Scherer, aktivis mahasiswa kala itu, dalam memoarnya.
Lahirnya surat perintah 11 Maret
Puncak dari gelombang demonstrasi mahasiswa dan tekanan politik terjadi pada Maret 1966. Pada 11 Maret, Presiden Soekarno menandatangani sebuah mandat yang dikenal sebagai Supersemar atau Surat Perintah 11 Maret. Mandat ini memberikan wewenang kepada Letnan Jenderal Soeharto untuk mengambil langkah-langkah pengamanan.
Sejak saat itu, posisi Soekarno semakin terdesak. Sementara Soeharto perlahan-lahan mengkonsolidasikan kekuasaan, termasuk dengan membubarkan PKI dan melarang aktivitas yang berafiliasi dengan partai tersebut.
Menurut catatan Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI), Supersemar menjadi titik balik sejarah, karena dari situlah Orde Baru mulai terbentuk. Dalam kurun beberapa bulan, kabinet Dwikora dirombak, inflasi ditekan, dan agenda politik diarahkan sesuai kebijakan baru di bawah kendali militer.
Dampak ekonomi dan politik
Tritura tidak hanya menandai peralihan kekuasaan, tetapi juga mencerminkan krisis ekonomi parah pada 1960-an. Inflasi pada 1965 tercatat lebih dari 600% per tahun.
Harga beras, minyak goreng, hingga kebutuhan pokok lain melonjak tajam. Bagi masyarakat yang sedang berpuasa, kenaikan harga ini terasa langsung dalam kehidupan sehari-hari.
Sementara itu, hubungan luar negeri Indonesia juga ikut berubah. Kebijakan konfrontasi terhadap Malaysia yang digagas Soekarno mulai dilonggarkan. Pemerintah baru di bawah Soeharto kemudian membuka kembali komunikasi dengan dunia internasional, termasuk dengan negara Barat.
Sejarawan Adrian Vickers dalam bukunya A History of Modern Indonesia menyebut, aksi mahasiswa saat itu menjadi katalis penting yang mempercepat perubahan rezim. “Mereka mewakili suara generasi muda yang menolak status quo,” tulis Vickers.
Setiap 10 Januari kini diperingati sebagai Hari Tritura. Meski tidak sebesar peringatan hari kemerdekaan, momentum ini tetap diingat sebagai simbol keberanian mahasiswa menuntut perubahan. Banyak tokoh mahasiswa 1966 yang kemudian terjun ke dunia politik dan pemerintahan pada masa Orde Baru.
Bagi sebagian aktivis, Tritura adalah bukti bahwa mahasiswa mampu memainkan peran penting dalam sejarah bangsa. Namun bagi pengamat lain, gerakan itu juga menyimpan kontroversi karena kemudian dianggap dimanfaatkan untuk menguatkan dominasi militer.
“Sejarah Tritura harus dilihat dengan jernih. Ada semangat idealisme mahasiswa, tapi ada juga kepentingan politik besar yang bermain,” ujar sejarawan Asvi Warman Adam.
Fakta bahwa Tritura berlangsung pada bulan puasa menambah makna tersendiri. Mahasiswa yang turun ke jalan berpuasa di tengah panas terik dan ketegangan politik. Kondisi itu menunjukkan, bagi mereka, tuntutan rakyat lebih penting daripada rasa lapar.
Bagi generasi sekarang, cerita tentang aksi mahasiswa pada Januari 1966 sering diingat dalam buku pelajaran sejarah. Namun detail bahwa aksi itu dilakukan ketika Ramadan tidak selalu menjadi sorotan. Padahal, aspek ini memperlihatkan dimensi lain dari pengorbanan dan keteguhan para mahasiswa kala itu.

0Komentar