Hubungan asmara dengan kecerdasan buatan (AI) semakin populer, namun studi dan pakar mengungkap adanya sisi gelap yang memengaruhi psikologis pengguna hingga risiko data pribadi. (Apluswire/Robin Santoso)

Hubungan asmara dengan kecerdasan buatan (AI) yang kian populer belakangan ini ternyata menyimpan sisi gelap. Sejumlah laporan dari pengguna di berbagai negara menunjukkan adanya dampak negatif, mulai dari ketergantungan emosional hingga eksploitasi data pribadi.

Fenomena ini muncul seiring hadirnya aplikasi berbasis AI yang menawarkan layanan percakapan menyerupai hubungan romantis. Beberapa perusahaan bahkan memasarkan produknya dengan klaim dapat menjadi “pasangan setia” bagi penggunanya.

Data firma riset Global Market Insights pada 2024 mencatat pasar aplikasi pendukung hubungan berbasis AI tumbuh hingga 27% setiap tahun. Mayoritas pengguna berada di usia 18–35 tahun.

“Banyak orang yang merasa kesepian, lalu mencari pelarian lewat teknologi ini. Namun, sering kali mereka tidak sadar masuk ke dalam ikatan emosional yang sulit dilepaskan,” kata Dr. Rini Suryani, psikolog klinis dari Universitas Indonesia.

Beberapa kasus menunjukkan pengguna mengalami gangguan kesehatan mental akibat hubungan intens dengan AI. Mereka merasa kehilangan ketika aplikasi dihapus atau mengalami gangguan sistem.

Sebuah studi di jurnal Frontiers in Psychology tahun 2023 menyebutkan, interaksi romantis dengan AI dapat meningkatkan risiko isolasi sosial, terutama jika pengguna mengurangi kontak dengan manusia.

“Masalah muncul ketika pengguna lebih nyaman dengan pasangan virtual ketimbang membangun relasi nyata. Hal ini bisa memengaruhi keterampilan sosial dan kualitas hidup jangka panjang,” jelas Rini.

Selain dampak psikologis, isu keamanan data juga menjadi sorotan. Beberapa aplikasi mengumpulkan percakapan pengguna untuk melatih algoritma, sehingga berpotensi membuka celah penyalahgunaan informasi sensitif.

Komisi Perlindungan Data Pribadi Uni Eropa pernah memperingatkan bahwa praktik pengumpulan data dalam aplikasi percakapan AI berisiko tinggi jika tidak disertai perlindungan yang ketat.

“Ketika seseorang menganggap AI sebagai pasangan, ia cenderung membagikan cerita paling pribadi. Itu bisa menjadi sasaran empuk bagi perusahaan atau bahkan pihak ketiga,” kata Ahmad Fauzi, pakar keamanan siber dari Lembaga Riset Digital Nusantara.

Sejumlah pihak menilai fenomena ini tak bisa dihindari, tetapi perlu diatur agar tidak merugikan masyarakat. Regulasi terkait transparansi penggunaan data hingga standar etika AI dianggap penting untuk segera disusun.

Ahmad menambahkan, literasi digital menjadi kunci utama. “Pengguna harus sadar bahwa di balik percakapan yang terasa emosional, tetap ada mesin yang bekerja berdasarkan algoritma. Itu bukan manusia,” ujarnya.

Pakar psikologi juga mendorong adanya dukungan sosial dan ruang interaksi nyata, sehingga ketergantungan terhadap pasangan virtual bisa diminimalisasi.