Pemerintah Indonesia melalui KLHK mengajukan perubahan batas Tropical Rainforest Heritage of Sumatra (TRHS) ke UNESCO. (Istimewa)

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) tengah bernegosiasi dengan UNESCO terkait status sebagian kawasan Tropical Rainforest Heritage of Sumatra (TRHS). Pemerintah mengajukan usulan perubahan batas atau boundary modification agar sebagian kecil wilayah Suoh–Sekincau di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (Lampung) bisa dikeluarkan dari status warisan dunia. 

Rencana ini disampaikan dalam forum The 11th Indonesia International Geothermal Convention & Exhibition pada Rabu, 17 September 2025.

Menurut KLHK, langkah ini ditempuh karena kawasan Suoh–Sekincau tidak lagi memenuhi kriteria utama TRHS akibat perambahan hutan dan perubahan ekosistem. 

Di sisi lain, area tersebut menyimpan potensi panas bumi sekitar 5 gigawatt (GW) yang hingga kini belum bisa dimanfaatkan lantaran statusnya sebagai warisan dunia UNESCO.

“Kementerian Kehutanan baru mengajukan boundary modification yakni memodifikasi batas TRHS yang ada di Suoh Sekincau untuk dikeluarkan. Hanya sebagian kecil dan kebetulan ada potensi panas bumi. Nanti dicari gantinya agar luas wilayah TRHS tidak berkurang,” ujar Satyawan Pudyatmoko, Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem KLHK, dalam keterangannya.

TRHS sendiri ditetapkan UNESCO sebagai warisan dunia sejak 2004. Kawasan ini mencakup tiga taman nasional di Sumatra, yakni Gunung Leuser di Aceh dan Sumatra Utara (862.975 hektare), Kerinci Seblat (1.375.350 hektare), serta Bukit Barisan Selatan (356.800 hektare). 

Tujuan awal penetapan ini adalah melindungi hutan hujan tropis Sumatra dari ancaman pembalakan liar, perkebunan, hingga pembangunan infrastruktur. Namun pada 2011, TRHS masuk daftar World Heritage in Danger karena kerusakan hutan terus berlangsung.

UNESCO menegaskan bahwa eksploitasi panas bumi termasuk dalam kategori pertambangan, sehingga tidak diperbolehkan di dalam situs warisan dunia. Namun, pemerintah Indonesia menilai berbeda. 

“Menurut regulasi di Indonesia, panas bumi bukanlah pertambangan, melainkan pemanfaatan jasa lingkungan. Jadi, harus ada solusi agar bisa dimanfaatkan tanpa mengurangi komitmen konservasi,” kata Satyawan.

Pemerintah berencana mencari kawasan pengganti yang memiliki kualitas ekosistem setara untuk menjaga total luas TRHS tetap sama. Usulan ini akan melalui proses pembahasan teknis dengan berbagai kementerian dan melibatkan UNESCO sebelum bisa diterapkan. KLHK memperkirakan, bila modifikasi batas disetujui, pemanfaatan panas bumi di Suoh–Sekincau baru bisa dimulai setelah 2027.

Sejumlah catatan UNESCO sebelumnya menyebut ancaman serius di TRHS, mulai dari pembukaan jalan, lemahnya penegakan hukum, hingga ketidakjelasan batas kawasan. Dalam laporan 2022, UNESCO menekankan perlunya evaluasi ulang batas TRHS agar sesuai kondisi lapangan.

Langkah KLHK ini menuai perhatian sejumlah pihak. Di satu sisi, pemerintah menekankan potensi energi terbarukan yang besar dan penting bagi transisi energi nasional. 

Di sisi lain, para pemerhati lingkungan mengingatkan bahwa perubahan batas kawasan warisan dunia tidak bisa dilakukan sembarangan karena berpotensi melemahkan perlindungan hutan hujan tropis Sumatra yang menjadi rumah bagi gajah, harimau, dan spesies endemik lainnya.