![]() |
| Pendiri Solana, Anatoly Yakovenko, peringatkan ancaman komputasi kuantum yang bisa mengancam keamanan Bitcoin dan mendorong migrasi ke sistem tahan kuantum. (Techcrunch) |
Pendiri Solana, Anatoly Yakovenko, melontarkan peringatan keras soal ancaman komputasi kuantum terhadap keamanan Bitcoin. Dalam sesi di All-In Summit 2025, ia menyebut peluang terjadinya terobosan kuantum pada 2030 mencapai 50 persen.
"Saya merasa peluangnya 50/50 dalam lima tahun ke depan akan terjadi terobosan kuantum," ujar Yakovenko kepada pembawa podcast David Friedberg.
Ia menekankan bahwa komunitas kripto perlu segera memikirkan migrasi ke sistem tanda tangan digital yang tahan kuantum.
Peringatan ini muncul di tengah kemajuan signifikan pada akhir 2024, ketika Google memperkenalkan prosesor kuantum Willow. Chip tersebut mampu menyelesaikan perhitungan khusus dalam waktu lima menit, yang dengan superkomputer konvensional diperkirakan memakan waktu hingga 10 septiliun tahun.
Keamanan Bitcoin saat ini bertumpu pada Elliptic Curve Digital Signature Algorithm (ECDSA). Sistem ini dirancang tahan terhadap komputer klasik, namun berpotensi ditembus komputer kuantum dengan algoritma Shor.
Sejumlah peneliti, termasuk David Carvalho dari Naoris Protocol, telah mengingatkan bahwa kriptografi Bitcoin bisa “dengan masuk akal dibongkar” dalam beberapa tahun jika teknologi kuantum berkembang pesat.
Meski Yakovenko mendesak persiapan cepat, tidak semua tokoh kripto sepakat soal urgensinya. CEO Blockstream, Adam Back, menilai komputer kuantum mungkin baru menjadi ancaman nyata dalam dua dekade mendatang.
Pandangan serupa disampaikan pendiri Jan3, Samson Mow, yang pada Juni lalu mengatakan bahwa risiko kuantum "mungkin masih satu dekade lagi".
Di sisi lain, sebagian pakar keamanan siber menilai konvergensi antara kecerdasan buatan (AI) dan kuantum bisa mempercepat ancaman. Percepatan riset AI disebut berpotensi memangkas prediksi waktu yang lebih konservatif.
Jika ancaman kuantum terealisasi, sekitar 25–30 persen Bitcoin dinilai paling rentan, termasuk aset lama yang kuncinya sudah terbuka di jaringan.
Transisi ke sistem kriptografi pasca-kuantum kemungkinan memerlukan hard fork—proses teknis yang rumit sekaligus sensitif secara politik karena menuntut konsensus luas antara pengembang, penambang, dan komunitas.
Saat ini, badan standar internasional seperti National Institute of Standards and Technology (NIST) tengah mengembangkan dan menyeleksi algoritma tahan kuantum. Beberapa pengembang Bitcoin juga telah mengusulkan opsi teknis, salah satunya soft fork QuBit untuk memperkenalkan kunci publik pasca-kuantum.
Ancaman kuantum tidak hanya membayangi Bitcoin. Infrastruktur digital lain seperti perbankan, komunikasi aman, hingga enkripsi internet, ikut berada dalam lingkaran risiko yang sama. Karena itu, penelitian global mengenai kriptografi pasca-kuantum terus digencarkan di berbagai sektor.

0Komentar