Pemerintah menyiapkan strategi pemangkasan subsidi listrik secara bertahap dengan fokus pada energi terbarukan dan PLTS, tarif listrik tetap stabil. (Dok. PLN)

Pemerintah berencana mengurangi subsidi listrik secara bertahap dengan mengandalkan pemanfaatan energi terbarukan, khususnya Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS). Kebijakan ini disampaikan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa usai bertemu Presiden Prabowo Subianto di Jakarta, Jumat (19/9/2025). Tujuannya, menekan beban subsidi negara tanpa menaikkan tarif listrik untuk masyarakat.

“Tujuannya kan itu. Kalau subsidi berkurang, bukan dinaikkan harganya, tapi dicari sumber-sumber penghasil listrik yang biayanya lebih murah,” kata Purbaya.

Pemerintah sedang mengkaji investasi besar pada PLTS skala nasional yang terintegrasi dengan pabrik panel surya dan baterai di dalam negeri. Skema ini diharapkan dapat memangkas biaya produksi listrik jangka panjang.

“Kalau investasi besar tapi betul-betul menghasilkan, nanti begitu jadi, listrik lebih murah, yang bisa mengurangi subsidi dalam beberapa puluh tahun ke depan, saya tidak akan ragu membiayainya,” ujarnya.

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat, per Juli 2025 sudah ada 10.882 pelanggan PLN yang memanfaatkan PLTS atap dengan total kapasitas 538 megawatt peak (MWp). 

Pemerintah menargetkan pemasangan PLTS atap mencapai 1 gigawatt (GW) hingga akhir 2025, dan pengembangan PLTS skala besar bisa mencapai 80-100 GW dalam jangka panjang.

Langkah ini muncul setelah wacana diskon tarif listrik 50% bagi rumah tangga dengan daya ≤1.300 VA batal dijalankan pada Juni–Juli 2025. Stimulus itu semula ditujukan untuk 79,3 juta pelanggan, namun dibatalkan karena penganggaran dianggap terlalu lambat. 

Dana dialihkan ke program Bantuan Subsidi Upah (BSU) senilai Rp10,72 triliun untuk 17,3 juta pekerja bergaji di bawah Rp3,5 juta per bulan serta guru honorer.

Purbaya menegaskan, strategi pengurangan subsidi kali ini berbeda dengan sekadar mencabut bantuan. Pemerintah ingin menjaga daya beli masyarakat dengan menekan biaya produksi listrik, bukan menaikkan tarif.

“Jadi bukan pemerintah mau naikkan harga. Ini usaha agar beban subsidi berkurang tapi tarif tetap stabil,” ujar Purbaya.

Meski begitu, ada sejumlah tantangan yang harus dihadapi. Biaya pembangunan PLTS dan sistem penyimpanan energi masih relatif mahal. Perhitungan investasi juga belum sepenuhnya matang, terutama terkait pengadaan lahan, perizinan, hingga kesiapan teknologi lokal.

Menurut catatan Kementerian ESDM, selain PLTS atap, pemerintah juga merancang proyek PLTS desa dengan kapasitas 1-1,5 MW di setiap desa. Hingga 2034, proyek PLTS darat dan terapung ditargetkan mencapai 17 GW.

Sejumlah pihak menilai subsidi listrik perlu diarahkan lebih tepat sasaran. Analisis Tempo mencatat, jika subsidi bagi kelompok mampu dipotong, potensi penghematan bisa mencapai Rp14,89 triliun. Dengan begitu, dana subsidi bisa lebih fokus menyasar masyarakat miskin dan rentan.

Di sisi lain, pemerintah menekankan kebijakan ini merupakan bagian dari visi jangka panjang untuk memperkuat ketahanan energi sekaligus mengurangi ketergantungan pada energi fosil. Jika berhasil, beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) akan menurun secara berkelanjutan dan ruang fiskal untuk belanja produktif bertambah.