Media asing seperti Reuters, The Straits Times, dan Al Jazeera menyoroti kasus keracunan massal siswa akibat program makan bergizi gratis di Indonesia. (JPNN/Fidhiah Shabrina)

Ribuan siswa di berbagai daerah Indonesia dilaporkan mengalami keracunan massal setelah mengonsumsi makanan dari program Makan Bergizi Gratis (MBG). Hingga pertengahan September 2025, tercatat lebih dari 5.000 anak menjadi korban. 

Kasus ini mendapat sorotan bukan hanya dari media dalam negeri, tetapi juga dari media internasional seperti Reuters, The Straits Times, hingga Al Jazeera.

Keracunan terbaru terjadi pada 17 September 2025 di Garut, Jawa Barat, dengan 569 siswa dari lima sekolah jatuh sakit setelah menyantap nasi dan ayam. Di hari yang sama, 277 siswa di Banggai, Sulawesi Tengah, juga mengalami gejala serupa. Akibat kejadian itu, distribusi makanan MBG di Banggai dihentikan sementara.

Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi mewakili Istana Kepresidenan menyampaikan permintaan maaf. 

“Tentunya kami atas nama pemerintah dan mewakili Badan Gizi Nasional, memohon maaf karena telah terjadi kembali beberapa kasus di beberapa daerah. Yang tentu saja itu bukan sesuatu yang kita harapkan dan bukan sesuatu kesengajaan,” ujarnya di Jakarta, Sabtu (20/9/2025).

Menurut Prasetyo, program MBG tidak akan dihentikan, tetapi evaluasi akan dilakukan bersama Badan Gizi Nasional (BGN) dan pemerintah daerah. Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) yang terbukti lalai akan dikenakan sanksi.

Di tingkat daerah, Sekretaris Pemerintah Kabupaten Garut Nurdin Yana mengatakan pengawasan dapur akan diperketat. 

“MBG tidak akan dihentikan, tetapi untuk sementara, siswa akan diberikan makanan yang lebih sederhana, seperti roti, susu, telur rebus, dan buah,” ujarnya dikutip Reuters.

Media internasional juga menyoroti lemahnya pengawasan dapur dan distribusi makanan. Reuters melaporkan kasus ini dengan judul “Over 800 Indonesian students suffer mass food poisoning from government free meals”. Laporan serupa juga dimuat The Straits Times yang mengutip Reuters dengan judul hampir identik.

Al Jazeera pada 3 September melaporkan sekitar 400 anak di Bengkulu jatuh sakit setelah makan dari program MBG. Media itu menulis bahwa operasi dapur terkait langsung dihentikan untuk investigasi.

Sorotan serupa juga datang dari Indian Express yang menyebut insiden di Sragen, Jawa Tengah, sebagai “outbreak terbesar” yang menimpa program ini, dengan lebih dari 360 orang menjadi korban. 

Media tersebut bahkan merinci menu nasi kunyit, telur orak-arik, tempe goreng, salad timun, dan susu kotak sebagai konsumsi yang diduga menjadi penyebab keracunan.

Ahli keamanan pangan ikut menilai. FoodSafetyNews mengutip pendapat akademisi Universitas Gadjah Mada yang menyebut bahwa dugaan utama penyebab keracunan adalah penanganan makanan yang buruk, terutama dalam penyimpanan dan distribusi. 

“Keracunan massal diduga disebabkan oleh penanganan makanan yang buruk, terutama dalam penyimpanan dan distribusi,” tulis media itu.

Program MBG sendiri merupakan salah satu program unggulan Presiden Prabowo Subianto yang sudah menjangkau 20 juta penerima dan ditargetkan mencapai 83 juta anak hingga akhir 2025, dengan anggaran Rp171 triliun. 

Tahun depan, dana ini direncanakan digandakan. Namun, sejumlah pengamat menilai skala program yang besar ini menimbulkan tantangan serius dalam pengawasan kualitas makanan.