Demo besar di Kathmandu, Nepal, menewaskan 19 orang dan melukai lebih dari seratus lainnya. Aksi dipicu pemblokiran 26 platform media sosial serta isu korupsi. (AFP/Prabin Narabhat)

Sedikitnya 19 orang tewas dan lebih dari seratus lainnya terluka dalam demonstrasi besar di Kathmandu, Nepal, Senin (8/9/2025). Aksi massa pecah setelah pemerintah memblokir 26 platform media sosial dan ditambah kemarahan publik atas isu korupsi pejabat.

Ribuan warga, mayoritas generasi muda, turun ke jalan sejak pagi di Kathmandu. Mereka menolak pemblokiran media sosial seperti Facebook, YouTube, X, dan Instagram yang mulai berlaku sejak Jumat (5/9/2025). Massa juga menyerukan perlawanan terhadap praktik korupsi yang dinilai merajalela di pemerintahan.

Kericuhan pecah ketika demonstran berusaha menerobos barikade kawat berduri menuju kawasan parlemen. Polisi membubarkan massa dengan gas air mata, meriam air, peluru karet, dan pukulan tongkat. Sejumlah saksi menyebut aparat juga menembakkan peluru tajam, meski hal ini belum terverifikasi secara independen.

“16 orang telah meninggal dunia. Sekitar seratus orang sedang dirawat, termasuk beberapa polisi,” kata Shekhar Khanal, juru bicara kepolisian Lembah Kathmandu kepada AFP. 

Beberapa jam kemudian, otoritas kesehatan melaporkan jumlah korban jiwa bertambah menjadi 19, termasuk dua di kota Itahari.

Rumah sakit utama di Kathmandu dilaporkan kewalahan menerima gelombang korban luka.

“Saya belum pernah melihat situasi sesulit ini di rumah sakit,” ujar Ranjana Nepal, petugas informasi di Rumah Sakit Sipil Kathmandu. 

“Gas air mata bahkan sampai masuk ke area rumah sakit, membuat para dokter kesulitan bekerja,” tambahnya.

Pemerintah Nepal memutuskan memblokir 26 platform digital karena dinilai tidak mematuhi aturan pendaftaran yang baru, sesuai Directive on Regulating the Use of Social Media 2023. Aturan tersebut mewajibkan platform menunjuk perwakilan lokal, menyediakan mekanisme pengaduan, dan menyesuaikan diri dengan putusan Mahkamah Agung Nepal pada 2024.

Juru bicara Kementerian Komunikasi, Gajendra Thakur, menuturkan pemerintah sudah “meminta platform-media sosial untuk mendaftar sebanyak lima kali” sebelum akhirnya memutuskan pemblokiran.

Perdana Menteri KP Sharma Oli juga membela langkah tersebut. Ia menyatakan bahwa, “kemerdekaan bangsa lebih besar daripada kehilangan pekerjaan segelintir individu,” serta menegaskan semua platform asing harus tunduk pada hukum Nepal.

Namun bagi massa, pemblokiran medsos hanya menjadi pemicu awal dari keresahan yang lebih dalam.

“Kami terpicu oleh larangan media sosial, tetapi itu bukan satu-satunya alasan kami berkumpul di sini,” kata Yujan Rajbhandari, mahasiswa 24 tahun.
“Kami memprotes korupsi yang telah mengakar di negara ini,” lanjutnya.

Seorang pengunjuk rasa lain, Bhumika Bharati, menuturkan, “Ada gerakan antikorupsi di luar negeri, dan mereka (pemerintah) khawatir hal seperti itu akan terjadi di sini juga.”

Menyusul bentrokan, pemerintah memberlakukan jam malam di beberapa titik strategis Kathmandu, termasuk kawasan kantor perdana menteri di Singha Durbar dan sekitar gedung parlemen. Jam malam berlaku hingga pukul 22:00 waktu setempat.

Gelombang protes juga merembet ke sejumlah distrik lain. Aksi ini didominasi pelajar sekolah dan mahasiswa yang menyebut gerakan mereka sebagai “protes generasi baru”.

Pemblokiran media sosial turut berdampak pada komunikasi jutaan warga Nepal yang bekerja di luar negeri, yang selama ini bergantung pada platform daring untuk berhubungan dengan keluarga. Dunia usaha dan sektor pariwisata juga dilaporkan terganggu akibat kebijakan ini.

Organisasi hak asasi manusia menyerukan penyelidikan atas penggunaan kekuatan oleh aparat. Amnesty International dalam pernyataannya mendesak pihak berwenang Nepal untuk “menunjukkan pembatasan maksimum” dalam menghadapi aksi protes.