Indonesia menargetkan posisi nomor satu produsen panas bumi dunia dengan menyalip Amerika Serikat pada 2029. Saat ini kapasitas terpasang baru 2.744 MW dari total potensi lebih dari 23 GW. Pemerintah percepat perizinan dan tambah kapasitas PLTP hingga 5,2 GW dalam 10 tahun. (Dok. PLN)

Indonesia menegaskan ambisi untuk menyalip Amerika Serikat sebagai produsen listrik panas bumi terbesar dunia. Pernyataan ini disampaikan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia dalam pembukaan 11th Indonesia International Geothermal Convention & Exhibition (IIGCE) 2025 di Jakarta, Rabu (17/9/2025).

Saat ini, kapasitas terpasang pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) Indonesia baru 2.744 megawatt (MW), atau sekitar 10 persen dari potensi cadangan yang diperkirakan mencapai 23.742 MW hingga 27 gigawatt (GW). Angka tersebut masih di bawah Amerika Serikat yang memimpin dengan kapasitas 3.937 MW.

Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE), Eniya Listiani Dewi, menyatakan Indonesia memiliki peluang besar untuk melampaui AS karena menguasai sekitar 40 persen cadangan panas bumi dunia. 

“Target kita di 2029 adalah untuk mengungguli Amerika Serikat. Kita tidak boleh kalah,” ujar Eniya dalam konferensi pers IIGCE 2025.

Pemerintah melakukan sejumlah langkah percepatan untuk mencapai target tersebut. Salah satunya memangkas waktu perizinan Wilayah Kerja Panas Bumi (WKP) dari sebelumnya bisa 1,5 tahun menjadi hanya tujuh hari melalui sistem Online Single Submission (OSS). 

Sejak kebijakan ini berjalan, dua proyek panas bumi di Cisolok, Sukabumi, Jawa Barat, dan Nage, Ngada, Nusa Tenggara Timur, sudah berhasil memperoleh izin hanya dalam waktu seminggu.

Dalam Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2025–2034, pemerintah menargetkan penambahan kapasitas PLTP sebesar 5,2 GW dalam 10 tahun. Target jangka menengahnya, penambahan 1 GW dalam lima tahun ke depan.

Namun, Menteri Bahlil menekankan bahwa hambatan utama pengembangan panas bumi adalah kebutuhan modal besar atau capital expenditure (CAPEX). 

“Panas bumi tidak hanya sebagai satu-satunya yang kita pakai untuk listrik, bisa juga menjadi hidrogen,” katanya. 

Ia menambahkan, panas bumi bisa dipakai mendukung hilirisasi industri tambang seperti nikel, tembaga, dan bauksit.

Di sisi lain, pemerintah menyebut sektor ini memberi dampak ekonomi langsung. Data Kementerian ESDM mencatat, panas bumi telah menyerap 1.533 tenaga kerja hijau dan menyumbang lebih dari Rp 1 triliun bagi daerah dalam sepuluh tahun terakhir.