![]() |
| Utang proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (Whoosh) tembus Rp116 triliun. DPR menyebutnya sebagai "bom waktu" yang menekan kinerja KAI. (Dok. KCIC) |
Utang proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) atau Whoosh kian membengkak hingga menembus Rp116 triliun atau sekitar US$7,2 miliar. Beban jumbo ini membuat PT Kereta Api Indonesia (KAI) dan konsorsium BUMN yang terlibat kewalahan menanggung kerugian.
Direktur Utama KAI Bobby Rasyidin menegaskan pihaknya tengah menyiapkan langkah untuk membahas utang tersebut bersama Badan Pengelola Investasi Daya Anggara Nusantara (Danantara).
“Kami akan koordinasi dengan Danantara untuk masalah KCIC ini, terutama kami dalami juga. Ini bom waktu,” kata Bobby dalam rapat dengan Komisi VI DPR RI di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (20/8/2025).
Kerugian Menggunung di Anak Usaha
Berdasarkan laporan keuangan PT KAI per 30 Juni 2025 (unaudited), anak usaha KAI yakni PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia (PSBI) mencatat kerugian Rp4,195 triliun pada 2024. Tekanan berlanjut pada semester I-2025 dengan rugi Rp1,625 triliun.
PSBI merupakan pemegang saham mayoritas PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC), sehingga menanggung langsung beban utang proyek. Struktur kepemilikan saham PSBI adalah KAI sebesar 58,53%, PT Wijaya Karya (Persero) Tbk (WIKA) 33,36%, PT Jasa Marga (Persero) Tbk 7,08%, dan PTPN VIII 1,03%. Sementara itu, konsorsium China Railway yang terdiri atas lima perusahaan memegang 40% saham KCIC.
Kerugian PSBI berimbas langsung pada kinerja keuangan para BUMN tersebut. Data menunjukkan, semester I-2025 PSBI masih mencatat kerugian Rp1,6 triliun, turun dari Rp2,3 triliun pada periode sama tahun sebelumnya. Namun angka ini tetap menjadi beban signifikan.
Ketua Komisi VI DPR RI Anggia Ermarini menyoroti kondisi tersebut. Menurutnya, kinerja KAI seharusnya cukup solid, namun terbebani proyek kereta cepat.
“Kereta Api sebenarnya tinggi, bisa laba, tapi karena punya Whoosh jadinya defisit,” ujarnya.
Hal senada disampaikan anggota Komisi VI DPR RI Darmadi Durianto. Ia menilai beban KCIC terus menekan KAI.
“Itu kalau dihitung 2025, itu bisa beban keuangan dan dari kerugian KCIC bisa capai Rp4 triliun lebih. Dari beban KCIC sendiri sudah Rp950 miliar, dikalikan dua sudah Rp4 triliun lebih,” ungkap Darmadi.
Darmadi juga memproyeksikan, jika persoalan utang KAI tidak segera diatasi, maka jumlah kerugian bisa menembus Rp6 triliun pada 2026.
Sementara itu, anggota Komisi VI DPR RI Rieke Diah Pitaloka mengungkapkan bahwa KAI telah mengucurkan modal besar ke PSBI sejak awal 2025.
“Termasuk dalam proyek strategis nasional, menghabiskan investasi sebesar US$7,2 miliar atau setara Rp116 triliun. Kerugian semester I-2025 mencatat Rp1,65 triliun dari investasi di PSBI. Tahun 2024, kerugiannya Rp4,195 triliun,” jelas Rieke.
Bergantung pada Pinjaman China
Sebagian besar pembiayaan proyek kereta cepat ditopang oleh pinjaman dari China Development Bank (CDB). Proyek ini juga disokong oleh penyertaan modal negara (PMN) serta kontribusi konsorsium BUMN Indonesia dan perusahaan China.
Pembengkakan biaya proyek, atau cost overrun, menjadi pemicu utama utang jumbo ini. Sejak awal, biaya proyek telah naik dari US$6,07 miliar menjadi sekitar US$7,27 miliar, atau setara Rp110,5 triliun.
Kenaikan dipicu oleh sejumlah faktor, mulai dari pembebasan lahan dan kompensasi, dampak pandemi COVID-19, tantangan geologis pada konstruksi terowongan, hingga implikasi perpajakan.
Pembayaran bunga utang ke China diperkirakan mencapai Rp2 triliun per tahun, menambah tekanan finansial bagi KAI.
Pengamat BUMN Toto Pranoto menilai langkah Danantara untuk mencari jalan keluar patut didukung, termasuk opsi mencari investor strategis yang bersedia mengambil sebagian saham pemerintah di konsorsium KCIC.
Dengan kondisi keuangan yang tertekan, KAI juga sempat meminta dukungan fiskal dari pemerintah, termasuk pembebasan biaya penggunaan rel atau Track Access Charge (TAC) untuk layanan kereta api jarak jauh.

0Komentar