PBB melalui IPC mengonfirmasi untuk pertama kalinya Gaza masuk fase kelaparan. Lebih dari 500 ribu warga dalam kondisi bencana, dengan prediksi 641 ribu orang terjebak kelaparan pada September 2025. (Anadolu via Getty Images)

Untuk pertama kalinya dalam sejarah, Jalur Gaza dan sekitarnya dikonfirmasi mengalami kelaparan. Laporan ini datang dari Integrated Food Security Phase Classification (IPC), sistem pemantauan ketahanan pangan global yang didukung badan-badan PBB. 

IPC menaikkan klasifikasi Gaza ke Fase 5—tingkat tertinggi dalam skala kelaparan. Artinya, lebih dari 500 ribu orang kini terjebak dalam kondisi “bencana” akibat kelaparan, kemiskinan ekstrem, dan kematian.

“Lebih dari setengah juta orang di Jalur Gaza mengalami kondisi ‘bencana’ akibat kelaparan, kemiskinan, dan kematian. Kelaparan di Gaza benar-benar akibat ulah manusia,” tulis laporan IPC. 

Peringatan itu juga menegaskan perlunya “respons cepat dan besar” karena tanpa itu, angka kematian bakal melonjak dalam waktu dekat.

Temuan ini menandai titik balik dramatis: pertama kalinya kelaparan resmi diumumkan di Timur Tengah. IPC menegaskan kondisi ini bukan sekadar risiko, melainkan bencana nyata yang terjadi di lapangan.


Bencana Buatan Manusia

Laporan tersebut menggambarkan situasi Gaza sebagai “bencana buatan manusia”. Kelaparan bukan disebabkan oleh faktor alam, melainkan hasil konflik, pembatasan bantuan, dan kehancuran infrastruktur sipil. 

Sejak serangan 7 Oktober 2023, ketika Hamas menyerang Israel dan menewaskan 1.200 orang serta menyandera 251 lainnya, Israel melancarkan operasi militer besar-besaran ke Gaza.

Dalam hampir satu tahun konflik, Kementerian Kesehatan Gaza (yang berada di bawah Hamas) mencatat 62.122 orang tewas. 

Infrastruktur sipil luluh lantak dengan lebih dari 90% rumah hancur atau rusak, sistem kesehatan runtuh, akses air bersih dan sanitasi nyaris tidak ada, dan fasilitas publik tak lagi berfungsi. Warga sipil berkali-kali kehilangan tempat tinggal akibat gelombang pengungsian.

Di tengah krisis itu, pasokan makanan dan obat-obatan makin sulit masuk. “Makanan tak bisa masuk ke kawasan Palestina karena penghancuran sistematis oleh Israel,” ujar Tom Fletcher, Kepala Bantuan PBB. Ia menegaskan, kelaparan ini sebenarnya bisa dicegah jika akses kemanusiaan tidak diblokade.

Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres menggunakan kalimat keras. “Ketika kata-kata saja tak bisa menggambarkan kehidupan bak neraka di Gaza, ada satu lagi kata tambahan—kelaparan. 

Ini bukan misteri. Ini adalah bencana yang dibuat manusia, penghinaan terhadap moral, dan kegagalan kemanusiaan.”


Proyeksi Kelam Hingga September

Laporan IPC tidak hanya menggambarkan kondisi saat ini, tetapi juga memberi prediksi ke depan. Jika tren berlanjut tanpa intervensi besar, pada periode pertengahan Agustus hingga akhir September, krisis akan semakin meluas.

Diproyeksikan hampir 641 ribu orang yakni sepertiga populasi Gaza akan masuk ke Fase 5. Sementara itu, 1,14 juta orang lainnya akan terjebak di Fase 4, kategori “darurat” yang hanya selangkah di bawah kelaparan penuh.

Artinya, hampir dua juta jiwa di Gaza akan hidup dalam kondisi kelaparan ekstrem. Angka ini mencerminkan kemunduran terparah sejak IPC pertama kali menganalisis situasi di Gaza.

Lebih jauh, data kemanusiaan menunjukkan dampak paling parah terjadi pada anak-anak. Sejak April, lebih dari 20.000 anak dirawat karena malnutrisi akut. 

Setidaknya 16 anak di bawah usia lima tahun meninggal akibat penyebab yang berkaitan langsung dengan kelaparan pada pertengahan Juli. Penyakit menular juga melonjak. Kasus diare, infeksi saluran pernapasan akut, dan penyakit terkait sanitasi merebak di kamp-kamp pengungsian.


Israel Bantah, Sebut “Kebohongan Hamas”

Meski laporan IPC diperkuat data lapangan dan didukung oleh lebih dari 100 lembaga kemanusiaan, Israel tetap menolak kesimpulan tersebut. Pemerintah Israel menyebut laporan itu didasarkan pada “kebohongan Hamas”.

Sikap itu konsisten dengan pernyataan Israel sebelumnya yang berulang kali membantah adanya kelaparan di Gaza. Namun, laporan dari berbagai organisasi internasional seperti Oxfam, Amnesty International, hingga Human Rights Watch justru menyebut Israel secara sistematis membatasi jumlah bantuan yang masuk.

Oxfam, misalnya, mengungkap Israel menolak puluhan permintaan LSM internasional untuk membawa makanan dan obat-obatan penting ke Gaza. Alasannya, izin bantuan tidak diberikan. Hal ini membuat ratusan truk bantuan menumpuk di perbatasan Rafah dan Kerem Shalom.

Sementara itu, hukum internasional jelas mengatur kewajiban pihak yang menguasai wilayah konflik untuk memastikan akses pangan dan medis bagi penduduk sipil. 

“Israel memiliki kewajiban di bawah hukum internasional termasuk kewajiban untuk memastikan pasokan makanan dan medis terhadap populasi di sana,” tegas Guterres.


Gaza Kehilangan Generasi?

Krisis kelaparan ini bukan sekadar statistik. Laporan dari kamp pengungsian di Khan Younis dan Deir al-Balah menggambarkan penderitaan manusia yang tak terbayangkan. 

Banyak keluarga hanya bisa bertahan hidup dengan sedikit roti, tepung yang dicampur air, atau dedaunan. Anak-anak kurus kering, dengan perut membuncit akibat malnutrisi akut, menjadi wajah paling nyata dari bencana ini.

Seorang pekerja medis internasional yang dikutip BBC menyebut, “Kami melihat anak-anak meninggal bukan karena peluru atau bom, tetapi karena kelaparan yang seharusnya bisa dicegah.”

Kondisi ini menciptakan potensi hilangnya satu generasi di Gaza. Anak-anak yang selamat dari kelaparan pun berisiko tumbuh dengan gangguan kesehatan permanen, baik fisik maupun mental.

Laporan IPC menempatkan isu Gaza bukan hanya sebagai krisis kemanusiaan, tetapi juga sebagai pertarungan narasi di panggung internasional. 

Di satu sisi, Israel berusaha menegaskan operasi militernya sah sebagai respons terhadap serangan Hamas. Di sisi lain, komunitas internasional menekan Israel untuk membuka jalur bantuan dan menghentikan blokade.

PBB, Uni Eropa, hingga Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) mendesak gencatan senjata segera. Namun, negosiasi berulang kali menemui jalan buntu. Amerika Serikat, sekutu utama Israel, sejauh ini hanya menyerukan peningkatan bantuan tanpa menekan secara langsung.

Sementara itu, LSM internasional memperingatkan dunia agar tidak hanya melihat Gaza dari sudut geopolitik. “Kita sedang menyaksikan kelaparan massal di abad ke-21. Ini bukan soal politik, ini soal nyawa manusia,” tegas Oxfam dalam pernyataan resminya.


Ancaman Eskalasi Lebih Luas

Laporan IPC juga menyebutkan, jika tidak ada langkah signifikan, angka kematian di Gaza akan melonjak ke level yang “tidak bisa diterima”. Itu berarti kematian massal bukan hanya akibat serangan militer, tetapi juga karena kelaparan.

Krisis ini diperkirakan akan berdampak ke luar Gaza. Tekanan pengungsi ke Mesir dan negara lain berpotensi meningkat, menciptakan instabilitas regional. Timur Tengah kini menghadapi risiko krisis kemanusiaan terbesar sejak perang Suriah.

Kondisi Gaza yang kini resmi masuk Fase 5 kelaparan adalah sinyal paling keras dari kegagalan diplomasi dan kemanusiaan global. Setengah juta orang telah masuk ke dalam jurang bencana, dan ratusan ribu lainnya terancam menyusul dalam hitungan minggu.

Di tengah krisis ini, kata-kata Guterres terdengar seperti alarm: “Ini adalah bencana buatan manusia, penghinaan terhadap moral, dan kegagalan kemanusiaan.”