Dalam tiga bulan terakhir, RSUD dr. Haryoto Lumajang mencatat lonjakan hampir 25 persen pasien yang datang ke poli Telinga, Hidung, dan Tenggorokan (THT). Sebagian besar dari mereka mengalami keluhan tinnitus, nyeri telinga, hingga penurunan pendengaran. Penyebab utama diduga kuat berasal dari paparan suara keras yang dipancarkan sound system hajatan di kawasan padat penduduk.
“Banyak pasien kami yang datang mengeluhkan telinga berdenging dan rasa nyeri setelah berlangsungnya acara hajatan di lingkungan mereka,” kata dr. Aliyah Hidayati SpTHT-KL, dokter spesialis THT di RSUD dr. Haryoto.
Menariknya, ada pasien yang tidak langsung menghadiri acara tersebut, namun terdampak suara lantang karena lokasi rumahnya berdekatan dengan hajatan.
Dokter Aliyah menambahkan bahwa gangguan yang dialami sebagian pasien memburuk akibat paparan suara keras yang berulang. Ia menegaskan perlunya pengendalian ketat terhadap penggunaan sound system di wilayah padat agar risiko gangguan pendengaran dapat diminimalkan.
“Kebisingan berlebihan bukan hanya mengganggu kenyamanan, tapi berpotensi menimbulkan masalah kesehatan serius pada telinga,” ujarnya.
Data dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mempertegas kekhawatiran tersebut. WHO menetapkan batas aman paparan suara maksimal 70 desibel (dB) agar pendengaran tetap terlindungi. Paparan suara di atas 85 dB yang berlangsung dalam jangka waktu lama dapat menimbulkan gangguan pendengaran permanen.
Namun, volume sound system hajatan kerap melampaui angka tersebut, bahkan mencapai 120-135 dB tingkat suara yang jauh melampaui ambang batas aman dan berisiko merusak struktur halus telinga.
Kondisi gangguan pendengaran akibat paparan suara bising ini dikenal dengan istilah Noise-Induced Hearing Loss (NIHL). Gangguan ini terjadi karena kerusakan pada sel-sel rambut halus di koklea, bagian telinga dalam yang vital untuk pendengaran.
Kerusakan ini bersifat permanen karena sel-sel tersebut tidak dapat diperbaiki secara alami. Gejala yang umum dialami pasien adalah tinnitus atau telinga berdenging, kesulitan menangkap suara bernada tinggi, hingga kesulitan memahami percakapan di lingkungan ramai.
Selain gangguan pendengaran, paparan suara bising yang berlebihan juga berimplikasi pada kesehatan sistemik. Kebisingan kronis memicu peningkatan hormon stres seperti kortisol dan adrenalin, yang dapat menyebabkan gangguan tidur, kecemasan, dan bahkan depresi.
Penelitian juga mengaitkan paparan suara bising dengan peningkatan tekanan darah, gangguan irama jantung, serta risiko stroke. Tidak hanya itu, anak-anak yang terpapar kebisingan tinggi berpotensi mengalami gangguan perkembangan kognitif, khususnya dalam kemampuan bahasa dan belajar.
Secara regulasi, Indonesia telah mengatur batas kebisingan melalui Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 48 Tahun 1996. Untuk wilayah permukiman, batas maksimal kebisingan adalah 55 dB, jauh di bawah tingkat suara yang biasa ditimbulkan sound system hajatan yang sering mencapai 100 dB ke atas.
Menghadapi situasi ini, penting bagi masyarakat dan penyelenggara acara untuk mengendalikan intensitas suara demi menghindari dampak jangka panjang terhadap kesehatan pendengaran warga. Paparan suara keras memiliki efek kumulatif yang dapat memperburuk kerusakan telinga seiring waktu tanpa kemungkinan pemulihan.
RSUD dr. Haryoto Lumajang menjadi salah satu contoh nyata bagaimana pola kebisingan di lingkungan padat dapat berkontribusi signifikan terhadap peningkatan kasus gangguan pendengaran.
Data ini menjadi peringatan bagi pengambil kebijakan dan masyarakat untuk lebih serius dalam pengaturan tingkat kebisingan, khususnya di acara yang melibatkan penggunaan sound system besar.
“Kesadaran dan kontrol kebisingan harus menjadi bagian dari upaya menjaga kesehatan masyarakat, terutama di daerah yang padat dengan aktivitas sosial yang intens,” tutup dr. Aliyah Hidayati.

0Komentar