Kebijakan tarif impor AS terbaru per 7 Agustus 2025 dengan rata-rata 18,6% mencetak lonjakan pendapatan hingga US$28 miliar per bulan, mengubah peta perdagangan global, memicu inflasi, dan memperkuat kerja sama antar negara di luar AS-China. (US Today)

Amerika Serikat pada 7 Agustus 2025 memberlakukan kebijakan tarif impor baru yang paling agresif sejak era Depresi Besar 1933. Tarif baru ini tidak hanya meliputi puluhan negara, tetapi juga meliputi beragam sektor strategis, mulai dari otomotif hingga baja dan barang konsumen. 

Dengan tarif rata-rata efektif sebesar 18,6%, naik tajam dari 2,4% pada 2024 sebelum Donald Trump kembali ke Gedung Putih, kebijakan ini menjadi tonggak penting dalam era proteksionisme global yang sedang berlangsung.

Kebijakan tarif ini menimbulkan gelombang dampak besar, mulai dari peningkatan pendapatan pemerintah hingga pergeseran pola perdagangan internasional yang signifikan.


Pendapatan Tarif AS Melonjak Tiga Kali Lipat

Pemerintah AS mencatat lonjakan pendapatan tarif yang drastis sejak kebijakan baru diberlakukan. Pada Juni 2025, penerimaan dari tarif impor mencapai US$28 miliar, naik tiga kali lipat dibanding rata-rata bulanan tahun 2024. Ini merupakan lonjakan pendapatan tarif terbesar dalam beberapa dekade terakhir.
 

Kantor Anggaran Kongres AS (CBO) memproyeksikan pendapatan tambahan dari tarif yang berlaku sejak awal tahun ini mampu mengurangi kebutuhan pinjaman pemerintah AS sebesar US$2,5 triliun dalam jangka waktu 10 tahun hingga 2035. 

Namun, CBO juga mengingatkan bahwa pemotongan pajak selama masa pemerintahan Trump tetap menjadi beban fiskal yang melebihi manfaat pendapatan tarif.


Defisit Perdagangan AS Masih Menjadi Tantangan Besar

Meskipun tujuan utama kebijakan tarif ini adalah mengurangi defisit perdagangan bilateral AS dengan berbagai negara, realitanya jauh dari harapan. Pada Maret 2025, defisit perdagangan barang AS mencapai rekor tertinggi US$162 miliar, sebelum turun menjadi US$86 miliar pada Juni 2025.

Penurunan ini sebagian besar dipengaruhi oleh lonjakan impor pada awal tahun, ketika perusahaan-perusahaan AS menumpuk stok sebelum tarif diberlakukan.

Ekspor AS hanya mengalami kenaikan yang sangat terbatas, menunjukkan bahwa defisit perdagangan lebih dipengaruhi oleh ketidakseimbangan struktural ekonomi dalam negeri daripada oleh praktik dagang negara lain.

Seperti ditegaskan oleh Emily Tan, ekonom dari National Economic Research Council, “Defisit perdagangan AS lebih banyak disebabkan oleh pengeluaran nasional yang jauh melampaui produksi domestik, bukan hanya akibat dari kebijakan perdagangan mitra dagang.”


Dampak Tarif Terhadap Perdagangan dengan China

Ketegangan perdagangan AS-China tetap menjadi sorotan utama dalam kebijakan tarif ini. Tarif hukuman atas impor China sempat mencapai 145% pada puncak konflik, namun kini sudah ditekan turun menjadi sekitar 30%.

Akibatnya, ekspor China ke AS menurun sebesar 11% selama periode Januari hingga Juni 2025 dibandingkan tahun sebelumnya.
   

Di sisi lain, China mengalihkan ekspornya ke pasar lain, termasuk India yang naik 14%, Uni Eropa 7%, Inggris 8%, serta negara-negara ASEAN seperti Vietnam, Thailand, Indonesia, dan Malaysia yang tumbuh 13%.

Kekhawatiran muncul di kalangan pengamat AS bahwa perusahaan-perusahaan China menggunakan negara-negara ASEAN sebagai “jalur transit” untuk menghindari tarif dan tetap mengekspor barang ke pasar AS. 

Fenomena ini dikenal sebagai “transshipment” dan menjadi tantangan baru bagi pengawasan perdagangan AS.


Perdagangan Alternatif Memperkuat Hubungan Regional

Ketegangan dagang AS-China mendorong negara-negara lain untuk mempererat kerja sama perdagangan. Inggris dan India menuntaskan kesepakatan perdagangan setelah tiga tahun negosiasi yang panjang, memperkuat hubungan ekonomi kedua negara. 

Kawasan EFTA Norwegia, Islandia, Swiss, dan Liechtenstein juga menyelesaikan kesepakatan dengan Mercosur di Amerika Latin.

Uni Eropa mempercepat negosiasi kesepakatan perdagangan dengan Indonesia, sementara Kanada tengah menjajaki perjanjian perdagangan bebas dengan negara-negara ASEAN. 

Ini menandai pergantian paradigma perdagangan global, di mana ketegangan antara dua ekonomi terbesar dunia justru membuka peluang integrasi regional yang lebih kuat.

Salah satu sektor yang terdampak langsung dari kebijakan tarif ini adalah pasar kedelai global. China secara signifikan mengurangi impor kedelai dari AS dan mengalihkan pasokan ke Brasil. 

Pada Juni 2025, impor kedelai China dari Brasil tercatat sebesar 10,6 juta ton, jauh melebihi impor kedelai dari AS yang hanya 1,6 juta ton.
   

Fenomena ini merupakan kelanjutan dari perang tarif sebelumnya, yang pada masa jabatan Trump pertama memaksa pemerintah AS memberikan subsidi kepada petani kedelai agar tetap bertahan menghadapi tarif pembalasan China.


Inflasi AS Kembali Menguat, Konsumen Merasakan Dampaknya

Tarif impor yang naik juga berdampak pada tingkat inflasi di Amerika Serikat. Pada Juni 2025, inflasi tercatat sebesar 2,7%, naik dari 2,4% pada bulan sebelumnya. Angka ini menunjukkan tren kenaikan yang masih relatif terkendali dibandingkan dengan tingkat inflasi 3% pada awal tahun.

Kenaikan harga terlihat nyata pada beberapa kategori barang impor seperti peralatan utama rumah tangga, komputer, alat olahraga, buku, dan mainan anak-anak. 

Studi dari Laboratorium Penetapan Harga Universitas Harvard membuktikan bahwa barang yang terkena tarif impor naik harga lebih cepat dibanding barang domestik tanpa tarif.

Tarif impor AS terbaru bervariasi antar negara, menggambarkan strategi proteksionisme yang terukur dan selektif. Beberapa contoh tarif spesifik yang diterapkan adalah:

Inggris: 10%
India: 50%
Suriah: 41%

Negara-negara lain seperti Uni Eropa, Jepang, Korea Selatan, Taiwan, Vietnam, Bangladesh, dan Swiss juga terkena tarif dengan tingkat yang berbeda-beda. 

Estimasi beban biaya tambahan per rumah tangga AS akibat tarif ini meningkat, meskipun belum menimbulkan tekanan signifikan terhadap daya beli secara menyeluruh.


Tantangan dan Peluang Global di Era Tarif Tinggi

Kebijakan tarif AS yang agresif ini memberikan tantangan besar bagi rantai pasok global yang selama ini terintegrasi secara erat. Namun, sekaligus membuka peluang bagi negara-negara yang tidak terkena tarif untuk mengisi celah pasar, serta bagi kawasan yang mampu memperkuat kerja sama dagang antar mereka.

Negara-negara ASEAN, sebagai contoh, semakin menarik sebagai tujuan investasi dan produksi alternatif yang menghindari tarif mahal AS. Hal ini didukung oleh peningkatan kesepakatan dagang regional dan bilateral yang terus berkembang.

Kebijakan tarif impor AS yang mulai diberlakukan pada 7 Agustus 2025 ini adalah langkah proteksionis yang paling agresif dalam hampir satu abad terakhir. Dengan tarif rata-rata efektif mencapai 18,6%, kebijakan ini membawa dampak signifikan di dalam negeri dan pasar global.

Meski pendapatan pemerintah dari tarif meningkat tajam dan berpotensi membantu pengurangan pinjaman jangka panjang, dampak inflasi dan defisit perdagangan yang masih tinggi tetap menjadi tantangan utama.

Selain itu, perubahan pola perdagangan global yang memperkuat hubungan ekonomi antar negara selain AS dan China membuka dinamika ekonomi dunia. Dalam konteks ini, pengawasan dan kebijakan perdagangan akan terus menjadi fokus utama bagi para pembuat kebijakan dan pelaku pasar global.

Sumber informasi artikel ini berasal dari Yale Budget Lab, US Congressional Budget Office (CBO), BBC News, S&P Global Commodity Insights, Harvard Pricing Lab, US Department of Homeland Security, US Department of the Treasury, US Census Bureau, dan China’s General Administration of Customs.