Pemerintah melarang pengibaran bendera One Piece jelang Hari Kemerdekaan. Menteri HAM menyebut larangan itu sesuai hukum internasional dan didukung PBB. (Merdeka/Arie Basuki)

Isu pelarangan bendera One Piece jelang perayaan Hari Kemerdekaan kembali memicu kontroversi. Pemerintah menyatakan pengibaran bendera bergambar tengkorak itu sebagai bentuk pelanggaran hukum dan bahkan bisa dikategorikan sebagai tindakan makar. 

Namun, bagi sebagian warga, simbol bajak laut dari dunia fiksi ini adalah bentuk ekspresi yang sah.

Fenomena ini mencuat setelah sejumlah warga, khususnya anak muda, mulai memasang bendera Jolly Roger di depan rumah atau kendaraan mereka. 

Bendera itu, yang diambil dari serial animasi Jepang populer, dianggap sebagai bentuk sindiran terhadap situasi sosial dan politik saat ini. 

Menteri HAM Natalius Pigai merespons dengan tegas. Ia menyebut larangan tersebut bukan hanya legal, tapi juga mendapat justifikasi dari hukum internasional. 

“Keputusan pelarangan tersebut akan mendapatkan dukungan dari komunitas internasional, termasuk PBB,” ujarnya. Menurut Pigai, Indonesia punya dasar kuat dari Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik (ICCPR), yang telah diratifikasi lewat UU No. 12 Tahun 2005.

“UU tersebut membuka ruang bagi negara untuk menjaga keamanan dan stabilitas nasional,” lanjut Pigai.

Dari sudut pandang pemerintah, simbol-simbol alternatif seperti bendera One Piece dikhawatirkan bisa mengaburkan makna sakral kemerdekaan. Apalagi jika dikibarkan bersanding dengan atau sejajar Merah Putih, yang jelas dilarang oleh Pasal 24 Ayat (1) UU No. 24 Tahun 2009.

Nada keras juga datang dari tokoh-tokoh lain. Firman Soebagyo, anggota DPR dari Fraksi Golkar, menyebut pengibaran bendera tersebut sebagai “provokasi yang bisa membahayakan rasa hormat terhadap simbol kenegaraan.” Sementara Menko Polhukam Budi Gunawan memperingatkan soal potensi “upaya halus memecah belah bangsa.”

Namun tidak semua pihak sepakat. Di Riau, seorang warga bernama Kharik Anhar menyebut pelarangan ini sebagai bentuk represi terhadap kebebasan berekspresi. Baginya, mengibarkan bendera tokoh animasi bukan tindakan kriminal.

“Tidak ada pasal yang melarang masyarakat mengibarkan bendera tokoh, klub bola, atau animasi di rumah atau kendaraan,” tegas Kharik.

Sentimen itu juga dirasakan oleh sebagian akademisi. Febriyanto Firman Wijaya dari Universitas Muhammadiyah Surabaya mengatakan fenomena ini adalah bentuk protes diam dari generasi muda. 

“Ini ekspresi kolektif dari kekecewaan terhadap ketimpangan, korupsi, dan pengabaian aspirasi rakyat,” katanya.

Yang membuat situasi makin tegang, beredar tangkapan layar dari sejumlah grup WhatsApp RT dan RW. Isinya berupa imbauan untuk melaporkan warga yang memasang bendera bajak laut kepada Babinsa atau Bimas. Langkah ini dinilai sebagian kalangan sebagai tindakan berlebihan yang bisa memicu ketakutan.

"Kami tidak melawan negara, tapi melawan ketidakadilan yang dibuat oleh sistem dan elite yang tak berpihak," ujar Satya, seorang pengibar bendera One Piece di Yogyakarta yang kini viral di media sosial.

Meski pemerintah menganggap aksi ini sebagai ancaman terhadap kesatuan bangsa, geliatnya justru semakin luas. 

Di Karanganyar, sebuah konveksi melaporkan lonjakan permintaan pembuatan bendera Jolly Roger hingga ratusan lembar per hari. Fenomena ini tumbuh organik dan tidak terkait dengan kelompok politik tertentu.

Pigai menutup pernyataannya dengan seruan agar masyarakat memahami konteks larangan ini sebagai upaya menjaga integritas nasional. 

“Saya berharap agar masyarakat memahami bahwa pelarangan ini adalah upaya menjaga kesatuan dan integritas bangsa dalam momentum bersejarah seperti perayaan Hari Kemerdekaan.” ujarnya.

Namun publik tampaknya punya cara sendiri dalam memaknai kemerdekaan. Di tengah berbagai isu ketidakpuasan terhadap elite dan sistem yang ada, simbol fiksi pun bisa menjadi medium protes yang kuat dan kini, tak bisa lagi dianggap sepele.