Generasi muda Korea Selatan makin tidak tertarik pada reunifikasi dengan Korea Utara. Bagi mereka, gagasan menyatukan dua Korea bukan lagi simbol perdamaian atau penyembuhan sejarah, melainkan persoalan ekonomi, sosial, dan politik yang tidak relevan dengan kehidupan masa kini.
Padahal, pemerintah Korea Selatan, termasuk di bawah Presiden Lee Jae-myung yang terpilih pada 2025, masih menempatkan reunifikasi sebagai bagian dari agenda nasional. Namun respons publik, terutama dari kalangan usia 20–30 tahun, justru semakin apatis.
“Generasi muda tidak lagi memandang reunifikasi sebagai cita-cita,” kata Sarah Son, dosen senior studi Korea di Universitas Sheffield. “Itu adalah mimpi yang memudar.”
Bagi generasi pasca-Perang Korea, ide penyatuan dua Korea adalah warisan sejarah yang penuh luka, namun tetap menjadi cita-cita bersama. Tapi generasi yang lahir jauh setelah konflik 1950–1953 tak lagi melihat utopia ini relevan.
“Anak muda tak punya memori tentang perang,” jelas Sarah. “Orang tua mereka pun tidak. Reunifikasi adalah narasi lama yang kehilangan konteks.”
Sejarah Panjang Perpecahan
![]() |
Hubungan dua Korea terus mengalami pasang surut sejak 1945, diwarnai berbagai upaya dialog dan perjanjian yang belum berujung damai. (Getty Images) |
Perpecahan Korea dimulai saat Jepang menyerah pada 1945. Amerika Serikat dan Uni Soviet membagi Semenanjung Korea di paralel ke-38. Pada 1948, dua negara resmi berdiri:
Korea Utara di bawah rezim komunis Kim Il-sung,
Korea Selatan sebagai negara demokratis kapitalis.
Konflik memuncak dalam Perang Korea (1950–1953) yang menewaskan lebih dari 2 juta orang. Meski perang berakhir dengan gencatan senjata, tidak pernah ada perjanjian damai. Hingga kini, kedua negara secara teknis masih dalam kondisi perang.
Sejumlah upaya rekonsiliasi muncul sepanjang dekade berikutnya:
1972: Komunike Bersama—gagal karena saling curiga.
1992: Basic Agreement—terhenti akibat program nuklir Pyongyang.
1998–2008: Kebijakan Sinar Matahari—dengan momen puncak berupa KTT tahun 2000 dan reuni keluarga terpisah.
Namun sejak 2008, dialog semakin terhambat. Politik domestik yang bergeser konservatif, pandemi global, dan ekspansi senjata nuklir Korea Utara membuat hubungan dua Korea kembali membeku.
Biaya Fantastis Jadi Momok
![]() |
| Perbedaan antara Korea Selatan dan Utara menciptakan tantangan tersendiri dalam berbagai wacana penyatuan yang terus berkembang. (Ed Jones/AFP/Getty Images) |
Reunifikasi bukan hanya persoalan geopolitik, tapi juga ekonomi. Laporan riset memperkirakan biaya penyatuan bisa mencapai US$63,1 miliar hanya untuk infrastruktur awal.
Rincian estimasi biaya:
Transportasi dan jalan: US$46,9 miliar
Pembangkit listrik dan energi: US$10 miliar
Biaya proyek lainnya: US$11,6 miliar
Meski sejumlah ekonom menyebut potensi manfaat jangka panjang, seperti eksplorasi sumber daya alam dan tenaga kerja murah dari Utara, publik muda tetap skeptis. Mereka memandang penyatuan sebagai risiko fiskal, bukan peluang ekonomi.
“Pajak kita akan naik, lapangan kerja makin sempit, dan pemerintah akan sibuk mengurus wilayah yang bahkan tidak kita kenal,” ujar Tae-wan Kim, mahasiswa teknik dari Seoul National University.
Korea Selatan dan Utara kini berada di dua kutub yang berbeda secara sosial, ekonomi, dan politik. Selatan adalah ekonomi digital dengan jaringan global. Utara masih tertutup, militeristik, dan mengalami stagnasi.
“Bayangkan menyatukan dua dunia yang bahkan tak saling mengenal,” kata Kyeyu Kwak, mahasiswi S2 jurusan kebijakan publik. “Kami bahkan tidak bicara dengan bahasa yang sama lagi—cara berpikir, sistem pendidikan, semuanya berbeda.”
Kekhawatiran juga muncul soal:
Kompetisi universitas dan pasar kerja,
Adaptasi warga Utara terhadap sistem kapitalisme,
Potensi konflik sosial karena ketimpangan budaya.
Narasi Pemerintah Tak Lagi Relevan?
Presiden Lee Jae-myung tetap membawa visi penyatuan dalam retorikanya. Ia menegaskan bahwa keamanan jangka panjang hanya bisa dicapai lewat perdamaian.
“Jalan terkuat menuju keamanan adalah membangun bangsa yang tidak akan pernah perlu berperang dengan membangun perdamaian,” ujar Lee dalam pidato kebijakan luar negeri awal tahun ini.
![]() |
| Banyak anak muda memilih sikap hati-hati soal reunifikasi, sementara ketegangan politik masih terus berlangsung. (REUTERS/Soo-Heyeon kim) |
Namun publik muda sulit tergerak. Data lembaga survei lokal menunjukkan hanya sekitar 27% warga usia 20–30 tahun yang mendukung reunifikasi aktif. Mayoritas memilih “status quo dengan dialog terbatas.”
Sinyal lain muncul dari langkah pemerintah menghentikan siaran propaganda di perbatasan. Namun Pyongyang membalasnya dengan dingin.
Saudari Kim Jong-un, Kim Yo-jong, menyebut kebijakan Seoul sebagai “kesalahan strategis” dan menyatakan bahwa Korea Utara lebih fokus pada aliansi militer dengan Rusia daripada membuka kembali dialog lintas batas.
Berbeda dengan anak muda, banyak warga lansia Korea Selatan masih menganggap reunifikasi sebagai impian moral dan sejarah. Mereka hidup dalam trauma terpisah dari keluarga, dan menilai penyatuan sebagai bentuk penebusan kolektif.
Namun waktu tidak berpihak. Populasi lansia makin berkurang, sementara populasi muda menjadi mayoritas demografis dan menentukan arah kebijakan masa depan.
“Ini bukan lagi tentang luka masa lalu, tapi tentang keputusan rasional dalam ekonomi hari ini,” kata analis hubungan internasional di Yonsei University.
Dalam realpolitik, ide penyatuan dua Korea kini lebih sering digunakan sebagai simbol diplomatik daripada tujuan konkret.
Pemerintah Korea Selatan menggunakan narasi reunifikasi untuk menunjukkan inisiatif damai. Korea Utara pun kerap memanfaatkan retorika serupa untuk memperoleh konsesi internasional.
Tapi secara substansi, kedua pihak tak menunjukkan kemajuan nyata.
“Masyarakat telah berkali-kali disuguhi visi rekonsiliasi yang penuh harapan, hanya untuk kemudian menghadapi kekecewaan,” ujar Sarah Son. “Pada akhirnya, orang berhenti percaya.”
Dua Korea, Dua Jalan
Dengan tren demografi, kondisi ekonomi, dan pergeseran geopolitik, jalan menuju penyatuan penuh terlihat semakin jauh. Di sisi lain, formula dua negara dengan dialog terbatas dan stabilitas regional dinilai lebih realistis oleh banyak pihak.
“Mereka tidak peduli tentang Korea Utara seperti yang media bayangkan. Bagi kami, ini bukan prioritas.” – Kyeyu Kwak.
Generasi muda Korea Selatan kini memandang isu reunifikasi sebagai bagian dari masa lalu, bukan prioritas masa depan. Data survei, beban ekonomi yang besar, serta perbedaan sistem sosial-politik antara Utara dan Selatan membuat wacana penyatuan kehilangan urgensi di mata mereka.
Pemerintah masih mempertahankan agenda dialog lintas-Korea, tetapi efektivitasnya semakin dipertanyakan. Selama tidak ada kemajuan nyata dari pihak Korea Utara, dan dukungan publik domestik terus melemah, maka arah kebijakan Seoul kemungkinan akan lebih berfokus pada stabilitas internal dan hubungan internasional yang realistis.




0Komentar