Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu memerintahkan pendudukan penuh Jalur Gaza untuk membebaskan 49 sandera yang masih ditahan Hamas. Langkah ini diambil meski ditentang militer dan dikritik dunia internasional. (EPA/Stephani Spindel)

Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mengeluarkan perintah pendudukan total Jalur Gaza untuk merebut sisa wilayah yang masih dikuasai Hamas. Keputusan ini diambil di tengah tekanan internasional dan resistensi dari internal militer Israel, dengan alasan utama menyelamatkan 49 warga Israel yang masih disandera Hamas sejak Oktober 2023.

“Keputusan sudah di tangan kami akan menduduki Jalur Gaza sepenuhnya,” ujar seorang pejabat senior dekat Netanyahu, dikutip oleh Ynet.

Saat ini Israel telah menguasai 75% wilayah Gaza, namun operasi lanjutan direncanakan tanpa konsultasi dengan Kepala Staf IDF, Letjen Eyal Zamir, yang bahkan diperintahkan tunduk atau mundur. Keputusan sepihak ini memicu kritik keras dari para pensiunan tokoh militer dan intelijen Israel.

Dokumen bocoran terbaru yang berasal dari Israel Defence and Security Forum, kelompok mantan perwira IDF, mengungkapkan rencana pendudukan yang terdiri dari tiga tahap yaitu pemerintahan militer sementara selama 6–12 bulan dan pembagian Gaza ke dalam lima zona administratif di bawah kendali Israel.

Tahap selanjutnya adalah proses jangka panjang demiliterisasi serta “re-edukasi” warga Gaza tanpa melibatkan Otoritas Palestina atau UNRWA. Meski tidak ada rencana aneksasi resmi, kontrol militer dan administratif Israel akan sangat dominan.

Dari total 251 sandera yang diambil pada 7 Oktober 2023, sebanyak 49 masih ditahan di Gaza, dengan 20 diyakini masih hidup dan 27 diduga tewas. 

Video terbaru dari Hamas yang memperlihatkan kondisi sandera yang melemah memicu tekanan besar dari publik dan militer Israel.

“Kita berada di ambang kekalahan,” kata Tamir Pardo, mantan Direktur Mossad, menggambarkan kondisi Israel yang sedang menghadapi tekanan militer dan diplomatik.

Krisis kemanusiaan di Gaza semakin memburuk. Otoritas kesehatan setempat melaporkan lebih dari 60.930 warga sipil Palestina tewas, termasuk 18.430 anak-anak sejak Oktober 2023. 

Blokade yang diberlakukan Israel telah menyebabkan kelaparan massal, dengan hanya 80-200 truk bantuan yang diizinkan masuk per hari, jauh dari kebutuhan minimal 600 truk.

Menteri Luar Negeri Israel Gideon Saar berupaya mengambil jalur diplomatik dengan menginisiasi sidang darurat Dewan Keamanan PBB untuk membahas situasi sandera. 

“Dunia harus mengakhiri fenomena penculikan warga sipil. Penculikan harus menjadi pusat perhatian dunia,” ujarnya sebelum bertolak ke New York untuk mengikuti sidang.

Tekanan domestik kian meningkat. Lebih dari 600 mantan pejabat keamanan Israel, termasuk Tamir Pardo, menyerukan penghentian perang. Survei terbaru menunjukkan 68% warga Israel lebih memilih pembebasan sandera dibandingkan kelanjutan operasi militer.

Di panggung internasional, Mahkamah Internasional (ICJ) sedang menyelidiki tuduhan genosida yang diajukan oleh Afrika Selatan terhadap Israel. 

Sementara itu, Prancis, Kanada, dan Inggris berencana mengakui negara Palestina pada September 2025, langkah yang mendapat penolakan keras dari Israel.

Meski sebelumnya mendorong gencatan senjata, pemerintahan Amerika Serikat di bawah Donald Trump dilaporkan telah menyetujui rencana pendudukan penuh Netanyahu secara diam-diam. 

Netanyahu sendiri menyadari tekanan dari sekutu-sekutunya, dan dalam pertemuan internal menyampaikan, “Teman-teman Israel mengatakan, ‘Kami tidak bisa menerima kelaparan massal. Kami tidak akan mendukung Anda.’ Jadi, untuk menang, kita harus memperbaiki ini.”

Di tengah kompleksitas krisis kemanusiaan, dinamika politik domestik, dan tekanan global yang terus meningkat, langkah Netanyahu membuka babak baru dalam konflik berkepanjangan yang belum menemukan jalan keluar.

Situasi ini semakin rumit dengan tekanan dari dalam negeri dan perhatian dunia yang terus meningkat, sementara Netanyahu mengambil langkah baru dalam konflik yang masih jauh dari penyelesaian.