Perebutan pengaruh luar angkasa memasuki fase baru. NASA, Cina, dan Rusia berpacu membangun infrastruktur di Bulan demi mengamankan zona eksklusif strategis. (NASA)


Perebutan dominasi luar angkasa memasuki fase baru. Tak lagi sekadar soal teknologi roket atau perlombaan pendaratan, kini fokus utama bergeser pada siapa yang pertama membangun infrastruktur permanen dan menetapkan klaim wilayah di Bulan. 

Amerika Serikat, lewat NASA, bergerak cepat menyusul rencana pembangunan reaktor nuklir di permukaan Bulan paling lambat 2030. Proyek ini tidak hanya menyangkut keberlanjutan misi berawak, tapi juga potensi pembentukan zona eksklusif yang membatasi akses negara lain.

Langkah ini disebut sebagai strategi kunci untuk mempertahankan kepentingan geopolitik AS dalam konteks persaingan yang semakin terbuka dengan Cina dan Rusia. 

Kedua negara tersebut diketahui tengah mengembangkan proyek serupa, dengan target pendaratan awak manusia dan pembangunan sistem energi mandiri di wilayah Bulan. 

Jika salah satu dari mereka lebih dulu berhasil menempatkan reaktor atau fasilitas permanen, maka bukan tidak mungkin akan muncul klaim zona aman atau perimeter eksklusif di sekitar lokasi pendaratan.

Konsep zona eksklusif sebenarnya telah diatur secara longgar dalam Artemis Accords, kesepakatan yang dipimpin oleh AS sejak 2020. 

Di dalamnya, disebutkan bahwa setiap negara berhak menetapkan zona keselamatan di sekitar aset mereka demi melindungi kru dan properti. 

Namun dalam praktiknya, klausul ini membuka ruang bagi interpretasi strategis yaitu zona keselamatan bisa menjadi cikal bakal klaim wilayah, yang secara de facto membatasi negara lain untuk mengakses area tertentu di Bulan.

Kondisi inilah yang mendorong NASA mempercepat pengembangan reaktor fisi 100 kilowatt, yang akan digunakan sebagai sumber daya utama untuk habitat dan aktivitas penambangan di Bulan. 

Arahan resmi telah dikeluarkan oleh penjabat kepala NASA, Sean Duffy, termasuk penunjukan pemimpin proyek dalam 60 hari ke depan dan pembukaan kemitraan industri swasta untuk mendukung desain serta peluncuran sistem. Target peluncuran tetap dipegang: kuartal pertama 2030.

Sementara itu, Cina menargetkan misi pendaratan awak pertama mereka di Bulan pada tahun yang sama. Rusia pun tak tinggal diam, dengan proyek wahana bertenaga nuklir "Zeus" yang dipersiapkan untuk misi eksplorasi jangka jauh. 

Dengan ketiga negara besar dunia berlomba pada tenggat waktu yang hampir bersamaan, kemungkinan terjadinya deklarasi zona eksklusif dan potensi ketegangan akses semakin terbuka.

Dalam dokumen internal NASA, secara eksplisit disebutkan bahwa reaktor nuklir adalah bagian dari “usaha untuk memenangkan perlombaan antariksa kedua”. Pernyataan ini menggarisbawahi bahwa isu dominasi luar angkasa kini bukan hanya persoalan prestise ilmiah, tetapi juga posisi tawar strategis antarnegara di medan baru yang belum memiliki batas kedaulatan formal.

Namun, ambisi ini tidak lepas dari kendala. NASA masih menghadapi ketidakpastian anggaran menyusul pemangkasan signifikan dari US$24,8 miliar menjadi US$18,8 miliar pada era pemerintahan Trump. 

Selain itu, isu keselamatan peluncuran bahan radioaktif dan tantangan teknis peluncuran misi Artemis 3 yang tertunda hingga 2027, membuat jalan menuju 2030 dipenuhi banyak variabel.

Kendati demikian, posisi AS tetap tegas. Siapa yang pertama membangun fasilitas vital seperti reaktor energi, memiliki peluang besar mengatur ulang peta kepentingan global di luar angkasa. 

Dalam konteks ini, klaim zona eksklusif bukan sekadar narasi fiksi ilmiah melainkan strategi nyata yang bisa mengubah arah kompetisi global dalam satu dekade ke depan.